PENGERTIAN MASYARAKAT
Masyarakat
dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam arti luas masyarakat adalah
ekseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh
lingkungan, bangsa dan sebagainya. Atau dengan kata lain kebulatan dari semua
perhubungan dalam hidup bermasyarakat. Dalam arti sempit masyarakat adalah
sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, misalnya
territorial, bangsa, golongan dan sebagainya.
MASYARAKAT
PEDESAAN
Masyarakat pedesaan selalu memiliki ciri-ciri
atau dalam hidup bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian
mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat
digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Namun demikian,
dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan
teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah “tidak berlaku”.
Masyarakat pedesaan juga ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat
sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yagn amat
kuat yang hakekatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat dimanapun ia hidup dicintainya serta mempunyai
perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau
anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebgai masyarakat yang
saling mencintai saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama
terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.
Adapun
yang menjadi ciri masyarakat desa antara lain :
1. Didalam masyarakat pedesaan
di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.
2. Sistem kehidupan umumnya
berkelompok dengan dasar kekeluargaan
3. Sebagian besar warga
masyarakat pedesaan hidup dari pertanian
4. Masyarakat tersebut
homogen, deperti dalam hal mata pencaharian, agama, adapt istiadat, dan
sebagainya
Didalam masyarakat pedesaan kita mengenal
berbagai macam gejala, khususnya tentang perbedaan pendapat atau paham yang
sebenarnya hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat pedesaan
penuh dengan ketegangan –ketegangan sosial. Gejala-gejala sosial yang sering
diistilahkan dengan :
-
konflik
-
kontraversi
-
kompetisi
MASYARAKAT
PERKOTAAN
Masyarakat perkotaan sering disebut urban
community . Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat kehidupannya
serta cirri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Ada
beberap ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu :
1. kehidupan keagamaan
berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa
2. orang kota pada umumnya
dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang
penting disini adalah manusia perorangan atau individu. Di kota – kota
kehidupan keluarga sering sukar untuk disatukan , sebab perbedaan kepentingan
paham politik , perbedaan agama dan sebagainya .
3. Jalan pikiran rasional yang
pada umumnya dianut masyarakat perkotaan , menyebabkan bahwa interaksi –
interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada factor kepentingan daripada factor
pribadi.
4. pembagian kerja di antra
warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata
5. kemungkinan-kemungkinan
untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada
warga desa
6. interaksi yang terjai lebih
banyak terjadi berdasarkan pada factor kepentingan daripaa factor pribadi
7. pembagian waktu yang lebih
teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu
8. perubahan-perubahan sosial
tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima
pengaruh dari luar.
PERBEDAAN
MASYARAKAT PEDESAAN DAN PERKOTAAN
1. Lingkungan Umum dan
Orientasi Terhadap Alam, Masyarakat perdesaan berhubungan kuat dengan
alam, karena lokasi geografisnyadi daerah desa. Penduduk yang tinggal di desa
akan banyak ditentukan oleh kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk
yang tinggal di kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam.
2. Pekerjaan atau Mata
Pencaharian,
Pada umumnya mata pencaharian di dearah perdesaan adalah bertani tapi tak
sedikit juga yg bermata pencaharian berdagang, sebab beberapa daerah pertanian
tidak lepas dari kegiatan usaha.
3. Ukuran Komunitas, Komunitas perdesaan
biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan.
4. Kepadatan Penduduk, Penduduk desa
kepadatannya lbih rendah bila dibandingkan dgn kepadatan penduduk
kota,kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan dgn klasifikasi
dari kota itu sendiri.
5. Homogenitas dan
Heterogenitas,
Homogenitas atau persamaan ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa,
kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku nampak pada masyarakat perdesa bila
dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya penduduknya
heterogen, terdiri dari orang-orang dgn macam-macam perilaku, dan juga bahasa,
penduduk di kota lebih heterogen.
6. Diferensiasi Sosial, Keadaan heterogen dari
penduduk kota berindikasi pentingnya derajat yg tinggi di dlm diferensiasi
Sosial.
7. Pelapisan Sosial, Kelas sosial di dalam
masyarakat sering nampak dalam bentuk “piramida terbalik” yaitu kelas-kelas yg
tinggi berada pada posisi atas piramida, kelas menengah ada diantara kedua tingkat
kelas ekstrem dari masyarakat.
Ada
beberapa perbedaan pelapisan sosial yang tak resmi antara masyarakat desa dan
kota:
·
pada
masyarakat kota aspek kehidupannya lebih banyak system pelapisannya
dibandingkan dengandi desa.
·
pada
masyarakat desa kesenjangan antara kelas eksterm dalam piramida sosial tidak
terlalu besar dan sebaliknya.
·
masyarakat
perdesaan cenderung pada kelas tengah.
·
ketentuan
kasta dan contoh perilaku.
Mobilitas
Sosial.
Mobilitas
berkaitan dgn perpindahan yg disebabkan oleh pendidikan kota yg heterogen,
terkonsentrasinya kelembagaan-kelembagaan.
·
banyak
penduduk yg pindah kamar atau rumah
·
waktu
yg tersedia bagi penduduk kota untuk bepergian per satuan
·
bepergian
setiap hari di dalam atau di luar
·
waktu
luang di kota lbih sedikit dibandingkan di daerah perdesaan Interaksi Sosial.
·
masyarakat
pedesaan lebih sedikit jumlahnya
·
dalam
kontak sosial berbeda secara kuantitatif maupun secara kualitatif
Pengawasan
Sosial.
Di
kota pengawasan lebih bersifat formal, pribadi dan peraturan lbh menyangkut
masalah pelanggaran
Pola
Kepemimpinan
Menentukan
kepemimpinan di daerah perdesaan cenderung banyak ditentukan oleh kualitas
pribadi dari individu dibandingkan dengan kota
Standar
Kehidupan
Di
kota tersedia dan ada kesanggupan dalam menyediakan kebutuhan tersebut, di desa
tidak demikian
Kesetiakawanan
Sosial
Kesetiakawanan
sosial pada masyarakat perdesaan dan perkotaan banyak ditentukan oleh
masingmasing faktor yang berbeda
Nilai
dan Sistem Nilai
Nilai
dan system nilai di desa dengan di kota berbeda dan dapat diamati dalam
kebiasaan, cara dan norma yang berlaku
Hubungan
desa dan kota
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah
dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan terdapat
hubungan uang erat, bersifat ketergantungan, karena saling membutuhkan Kota
tergantung desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan, desa
juga merupakan tenaga kasar pada jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota. sebaliknya,
kota menghasilkan barang-barang yg juga diperlukan oleh orang desa, kota juga
menyediakan tenaga-tenaga yang melayani bidang-bidang jasa yg dibutuhkan oleh
orang desa.
ASPEK
POSITIF DAN NEGATIF
Perkembangan kota merupakan manifestasi dari
pola kehidupan sosial , ekonomi , kebudayaan dan politik . Kesemuanya ini akan
dicerminkan dalam komponen – komponen yang memebentuk struktur kota tersebut .
Jumlah dan kualitas komponen suatu kota sangat ditentukan oleh tingkat
perkembangan dan pertumbuhan kota tersebut. Secara umum dapat dikenal bahwa
suatu lingkungan perkotaan , seyogyanya mengandung 5 unsur yang meliputi :
-
Wisma : Untuk tempat berlindung terhadap alam sekelilingnya.
-
Karya : Untuk penyediaan lapangan kerja.
-
Marga : Untuk pengembangan jaringan jalan dan telekomunikasi.
-
Suka : Untuk fasilitas hiburan, rekreasi, kebudayaan, dan kesenian.
-
Penyempurnaan : Untuk fasilitas keagamaan, perkuburan, pendidikan, dan utilitas
umum.
Untuk
itu semua , maka fungsi dan tugas aparatur pemerintah kota harus ditingkatkan :
a.
Aparatur kota harus dapat menangani berbagai masalah yang timbul di kota .
Untuk itu maka pengetahuan tentang administrasi kota dan perencanaan kota harus
dimilikinya .
b.
Kelancaran dalam pelaksanaan pembangunan dan pengaturan tata kota harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat , agar tidak disusul dengan masalah lainnya ;
c.
Masalah keamanan kota harus dapat ditangani dengan baik sebab kalau tidak ,
maka kegelisahan penduduk akan menimbulkan masalah baru ;
d.
Dalam rangka pemekaran kota , harus ditingkatkan kerjasama yang baik antara
para pemimpin di kota dengan para pemimpin di tingkat kabupaten tetapi juga
dapat bermanfaat bagi wilayah kabupaten dan sekitarnya .
Oleh
karena itu maka kebijaksanaan perencanaan dan mengembangkan kota harus dapat
dilihat dalam kerangka pendekatan yang luas yaitu pendekatan regional . Rumusan
pengembangan kota seperti itu tergambar dalam pendekatan penanganan masalah
kota sebagai berikut :
1.
Menekan angka kelahiran
2.
Mengalihkan pusat pembangunan pabrik (industri) ke pinggiran kota
3.
Membendung urbanisasi
4.
Mendirikan kota satelit dimana pembukaan usaha relatif rendah
5.
Meningkatkan fungsi dan peranan kota – kota kecil atau desa – desa yang telah
ada di sekitar kota besar
6.
Transmigrasi bagi warga yang miskin dan tidak mempunyai pekerjaan.
CONTOH KASUS
PENGGUNAAN TEKNOLOGI
DAN INOVASI PERTANIAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT PEDESAAN
Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di pedesaan, misalnya, pola
pendidikan, sistem ekonomi, politik pemerintahan dan banyak hal yang tak
mungkin dipisahkan dari faktor-faktor individual yang yang berpengaruh dengan
secara tanpa disadari mampu mempengaruhi individu lainnya. Faktor yang penting
dalam kaitannya dengan pembicaraan ini adalah teknologi, yang sangat nyata
berkaitan dengan perubahan sosial di pedesaan. Hal ini terjadi karena program
pembangunan pembangunan ekonomi nasional.
Pada
masa pembangunan ini, baik itu setelah Indonesia merdeka maupun orde baru, desa
secara terus menerus mengalami perubahan sosial. Masyarakat desa menerima dan
menggunakan hasil penemuan atau peniruan teknologi khususnya di bidang
pertanian, yang merupakan orientasi utama pembangunan di Indonesia. Penerimaan
terhadap teknologi baik itu dipaksakan ataupun inisiatif agen-agen perubahan
(agent of change), tidak terelakkan lagi akan mempengaruhi perilaku sosial
(social behavior) dalam skala atau derajat yang besar. Lebih dari itu,
introduksi teknologi yang tidak tepat mempunyai implikasi terhadap perubahan
sosial, yang kemudian akan diikuti dan diketahui akibatnya. Contohnya, ketika
teknologi berupa traktor atau mesin penggilingan padi awal gerakan revolusi
hijau sekitar tahun 60-an masuk ke desa, banyak buruh tani di pedesaan jadi
pengangguran akibat tenaganya tergantikan oleh mesin-mesin traktor.
Keadaan
ini menimbulkan perubahan struktur, kultur dan interaksional di pedesaan.
Perubahan dalam suatu aspek akan merembet ke aspek lain. Struktur keluarga
berubah, di mana buruh wanita yang biasa menumbuk padi sebagai penghasilan
tambahan, sekarang hanya tinggal di rumah. Masuknya traktor menyebabkan tenaga
kerja hewan seperti sapi atau kerbau menganggur dan buruh tani kehilangan
pekerjaannya. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya urbanisasi, buruh tani
dan pemuda tani lari ke kota mencari pekerjaan. Hal ini kemudian memberikan
dampak kepadatan penduduk yang membeludak di perkotaan, lalu menjadikan
perputaran ekonomi semakin besar dan desa semakin tertinggal. Namun keadaan ini
tidak sampai di sini, ketika mereka kembali lagi ke desa timbul konflik kultur
akibat budaya yang terbangun selama berada di kota terbawa ke desa. Dari contoh
sederhana ini dapat dibayangkan betapa akibat perubahan suatu aspek dapat
merembet ke aspek lainnya.
Proses
pembangunan pedesaan di daerah pertanian tidak lain adalah suatu perubahan
sosial. Demikian pula introduksi teknologi ke pedesaan yang bermula dari
kebijakan orde baru yang mengikuti pada isu global bernama revolusi hijau
menimbulkan perubahan sosial dalam berbagai dimensi. Masuknya traktor atau
mesin penggiling padi ke pedesaan menyebabkan berkurangnya peranan buruh tani
dalam pengelolaan tanah dan berkurangnya peranan wanita dalam ekonomi keluarga
di pedesaan.
Teknologi
yang masuk ke desa tersebut banyak dikuasai oleh golongan ekonomi kelas atas
dan menengah di desa. Golongan tersebut dengan pendirinya akan menentukan
pasaran kerja di desa. Keadaan demikian akan menggeser peranan pemilik ternak
kerbau atau sapi sebagai sumber tenaga kerja pengolah sawah.
Masuknyan
teknologi perangkat usaha ternak sapi perah, menggeser peternak tradisional
yang hanya memiliki satu sampai tiga ekor ternak. Perangkat teknologi tersebut
merubah sistem beternak, dari ekonomi keluarga ke ekonomi komersial, dengan
jumlah ternak yang banyak dan dikuasai oleh golongan ekonomi kuat di desa atau
di kota yang menanamkan modalnya di desa. Perangkat teknologi sapi perah
seperti mixer makanan ternak, cooling unit susu, sistem
pengawetan dan lain-lain, memungkinkan orang untuk menangani jumlah ternak sapi
lebih banyak. Hal ini memberikan bukti bahwa teknologi mengakibatkan
meningkatnya ukuran usaha tani di pedesaan.
Belum
lagi kebijakan-kebijakan sederhana yang ada di pedesaan. Penunjukan kepala desa
sebagai ketua LKMD misalnya, hal ini mengakibatkan pengaruh Negara akan semakin
dominan yang notabene tidak terlalu paham dengan kondisi sosial masyarakat desa
setempat. Pola pengaruh ini bermula dari penggunaan kekuasaan yang terlalu
berlebih. Dengan dalih pembangunan, para kusir delman tergeser oleh adanya
transportasi angkutan pedesaan. Struktur ekonomi kembali dikuasai oleh
orang-orang tertentu saja. Disini terjadi perubahan peranan LKMD, yang
sebelumnya sebagai akumulasi aspirasi masyarakat berubah menjadi wadah aspirasi
penguasa. Masuknya teknologi ke desa, seperti halnya mekanisasi dalam bidang
pertanian, juga mempengaruhi organisasi dan manajemen usaha tani. Mekanisasi
pertanian menuntut adanya keterampilan baru bagi para pekerja. Tuntutan
tersebut, dengan sendirinya membutuhkan modal yang besar sehingga melibatkan
bank dan pemodal lainnya. Pengadaan modal untuk pengembangan industri atau
mekanisasi di desa, ditunjang oleh kebijaksanaan pemerintah dalam bentuk
pemberian pinjaman berupa kredit. Kebijaksanaan ini merangsang timbulnya
keberanian untuk meminjam kredit dalam jumlah besar, tanpa diimbangi oleh
sistem organisasi dan manajemen yang memadai, sehingga muncul dimana-mana
tunggakan kredit, seperti bimas atau industri kecil menunggak.
Dengan
terjadinya perubahan structural tersebut, tidak mampu dinafikan bahwa budaya
atau kultur masyarakat pun ikut berubah. Seperti yang telah dijelaskan secara
teoritis perubahan kultur sosial menyangkut segi-segi non material, sebagai
akibat penemuan baru medernisasi. Artinya terjadi integrasi atau konflik unsur
baru dengan unsur lama sampai terjadinya sintesis atau penolakan sama sekali.
Masuknya
teknologi atau adanya mekanisasi di desa mengakibatkan banyaknya pertambahan
jumlah penduduk yang menganggur, transformasi yang tidak jelas, dan pola
komunikasi yang sejalan dengan perubahan komunitas di desa. Kesemuanya itu
merupakan inovasi, baik itu hasil penemuan dalam berpikir atau peniruan yang
dapat menimbulkan difusi atau integrasi. Peristiwa-peristiwa perubahan kultural
meliputi “cultural lag”, “cultural survival”, “cultural conflict” dan ”cultural
shock”.
Hal
di atas juga sangat besar pengaruhnya terhadap interaksi, sebab melalui
teknologi aktivitas kerja menjadi lebih sederhana dan serba cepat. Hubungan
antara sesama pekerja menjadi bersifat impersonal, sebab setiap pekerja bekerja
menurut keahliannya masing-masing (spesialis). Hal ini berbeda dengan kegiatan
pekerjaan yang tanpa teknologi, tidak bersifat spesialis dimana setiap orang
dapat saling membantu pekerjaan, tidak dituntut keahlian tertentu. Sehingga
dulu hubungan antara majikan (pemilik lahan) dengan petani pekerja (buruh tani)
ataupun sesame buruh tani begitu akrab dan saling mengenal, bisa dikatakan
hubungan patron klient-nya begitu terasa. Namun, hubungan tersebut kini mulai
mengalami pergeseran.
Teknologi
berkaitan dengan pembatasan pekerjaan yang bersifat kerjasama, sehingga dapat
menimbulkan konflik pada komunitas pertanian. Adanya teknologi, praktek-praktek
saling membantu menjadi terhenti dan kerjasama informal menjadi berkurang.
Proses mekanisasi di daerah pertanian menyebabkan hubungan bersifat kontrak
formal. Tenaga kerja berkembang menjadi tenaga kerja formal yang kemampuan dan
keahliannya terbatas. Lambat laun di pedesaan akan muncul organisasi formal
tenaga kerja sebagai akibat terspesialisasi dan meningkatnya pembagian kerja.
Hal inilah yang oleh Durkheim dinamakan solidaritas organik (organic
solidarity) yang lebih sering terjadi pada komunitas perkotaan.
Masuknya
teknologi ke desa menyebabkan kontak sosial menjadi tersebar melalui berbagai
media dan sangat luas, melauli perdagangan, pendidikan, agama dan sebagainya.
Akibat pola hubungan yang bersifat impersonal, maka ketidak setujuan atau
perbedaan pendapat sulit diselesaikan secara kekeluargaan, tetapi harus melalui
proses peradilan. Hal ini tampak dengan adanya kebijaksanaan jaksa masuk desa,
dimana sebelumnya konflik di desa cukup diselesaikan dengan oleh ketua kampung
atau sesepuh desa, maksimal oleh kepala desa yang dianggap orang yang
berpengaruh didesa.
Pergeseran Nilai
Tradisional ke Nilai Modern
Masyarakat
modern dengan nilai dan tujuan ekonomi yang lebih menonjol cenderung memandang
sumberdaya pedesaan sebagai suatu komoditas yang secara ekonomi dapat
meningkatkan nilai finansial bagi kelompok tertentu, dimana produktivitas dalam
rentang waktu tertentu merupakan pertimbangan utama. Sebaliknya masyarakat
tradisional dan para industri memandang sumber daya yang sama sebagai milik
ulayat yang harus dijaga kelestariannya untuk kepentingan jangka panjang. Bagi
mereka aspek pemerataan lebih penting dari produktivitas.
Kelembagaan
tradisional umumnya lebih memperhatikan aspek pelestarian untuk kepentingan
anak cucu mereka di masa mendatang. Namun munculnya organisasi ekonomi yang
disertai nilai-nilai barat perlahan-lahan mengubah nilai radial kebersamaan
kearah nilai finansial yang kurang mempertimbangkan aspek pemerataan.
Di
lain pihak kalangan petani yang memiliki wawasan lebih luas dan terbuka
menerima perubahan ini sebagai upaya untuk menuju kepada kecenderungan mencari
sistem yang lebih terbuka sebagai jalan keluar terbaik bagi kegiatan produksi
yang tengah dijalani. Kalangan ini cenderung mempertahankan usaha taninya
dengan mengandalkan diri sepenuhnya (atau sebagian) kepada ketersedian input
eksternal. Bagi mereka moderniasasi dapat membuka peluang inovasi, dan inovasi
yang selaras dengan kebutuhan pertanian adalah inovasi yang berkaitan erat
dengan input industri dan proses industrialisasi serta pemasaran yang baik.
Inovasi
seperti ini cenderung menuntut hubungan yang lebih kuat dengan sistem lain
diluar usaha tani setempat serta mengurangi ketergantungan terhadap hubungan
internal. Sistem kerja tanpa imbalan berganti menjadi sistem upah (harian,
borongan dan lain-lain). Saling ketergantungan akan kebutuhan tenaga menjadi
berkurang dan hubungan dengan sumberdaya dari luar sistem usaha tani lebih
bersifat ekonomis, dari pada bersifat hubungan radial seperti sebelumnya.
Munculnya organisasi ekonomi yang disertai nilai-nilai Barat perlahan-lahan
mengubah nilai radial kearah finansial.
Kondisi
di atas bukan saja karena perbedaan persepsi terhadap tujuan pengembangan
masyarakat pedesaan, namun juga disebabkan oleh perbedaan nilai dan norma
sosial dan ekonomi yang dalam proses globalisasi dibawa dari nilai Barat yang
lebih berorentasi ke arah nilai finansial diukur dengan peningkatan pendapatan.
Sedangkan sukses dan kesejahteraan dalam nilai tradisional lebih bersifat
komunal dan tercermin dari nilai-nilai lokal antara lain berupa tepo-sliro dan
kerukunan individu.
Kamaluddin
(1983) menyebutkan beberapa sikap tradisional dalam masyarakat yang tidak
sesuai dengan keperluan pembangunan dan modernisasi. Diantaranya ialah :
(1) Sikap lambat
menerima perubahan atau hal-hal yang baru sungguhpun akan menguntungkan mereka.
(2) Sikap lebih
suka mencari jalan yang paling mudah dan cepat mendatangkan hasil sungguhpun
tidak begitu besar, sebaliknya kurang berani memikul resiko pada usaha-usaha
yang kemungkinan keuntungannya lebih besar dan sifatnya jangka panjang.
(3) Sikap kurang
bertanggung jawab dalam tugas pekerjaan serta mudah untuk tidak menepati janji
dalam hubungan-hubungan ekonomi.
Pada
umumnya sikap-sikap hidup yang demikian itu lebih berakar dan lebih banyak
terdapat di kalangan masyarakat pertanian tradisional. Dan semakin berkembang
kehidupan ekonomi serta makin jauh pengaruh lingkungan alam tradisional, maka
sikap hidup yang demikian itu telah semakin berkurang.
Namun
demikian harus diingat bahwa munculnya sikap tersebut bukan merupakan indikasi
bahwa petani tradisional tidak rasional. Sebaliknya justru kita sering merasa
lebih pintar sehingga kita tidak berusaha memahami petani dari sudut pandang
mereka sendiri. Apa yang dikemukan Kamaluddin di atas memang benar merupakan
potret umum petani kita. Namun sebenarnya sikap mereka juga dilandasi
pertimbangan rasional. Apa yang sering luput dalam pengamatan para ahli umumnya
adalah bahwa petani kita juga memperhatikan aspek keamanan pangan dalam
kebijakan produksi mereka, sementara kebanyakan ahli kita hanya memperhitungkan
pada aspek finansial komersilnya saja. Sikap menghindari resiko (risk aversion)
misalnya, ini merupakan hal lumrah bagi petani yang penguasaan resourcenya
sangat terbatas. Bila gagal mereka tidak memiliki alternatif yang lain untuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sementara sebagian ahli hanya melihat bahwa potensi
produksinya besar, namun resiko dan pertimbangan keamanan pangan luput dari
perhatian mereka.
Petani
kita memang lambat menerima inovasi baru. Hal itu sebetulnya bisa dipahami
dalam kaitan dengan penjelasan di atas. Mereka ingin memperoleh tingkat kepastian
yang lebih tinggi bahwa hal baru tersebut memang menguntungkan. Dalam bisnis
besarpun sesungguhnya pertimbangan ini juga dilakukan, besarnya resiko dan
ketidakpastian merupakan faktor yang harus dipertimbangkan sebagai nilai
negatif terhadap suatu usaha atau proyek yang akan dijalankan.
Sementara
sifat yang ketiga tampaknya hal ini tidak merupakan sifat spesifik petani.
Sifat ini juga dengan mudah kita jumpai pada pengusaha-pengusaha besar dalam
berbagai bidang. Ini lebih merupakan karakteristik personal orang per orang
dari pada merupakan atribut umum yang melekat pada petani.
Sebagai
kesimpulan, memang petani kita hidup sederhana dan bersahaja, namun salah
sekali anggapan yang mengira bahwa mereka bodoh, tidak terampil dan tidak
berpengetahuan. Seungguhnya mereka berpengetahuan dan terampil pada tingkat
yang sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai refleksi dari kesadaran mereka akan
kualitas dan kuantitas sumberdaya yang mereka kuasai. Tidak ada bukti yang kuat
yang menunjukkan bahwa sikap hidup mereka tersebut dapat menghambat kemajuan,
pembangunan dan modernisasi. Sebaliknya, kegiatan pembangunan justru akan
terhambat kalau pelaksanaannya tidak concern dengan sifat, sikap dan potensi
spesifik di lokasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar