Kamis, 15 November 2012

PRASANGKA, DISKRIMINASI DAN ETNOSENTRISME


Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional ada  prasangka ke dalam tiga kategori.

  1. Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
  2. Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
  3. Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.

Beberapa jenis diskriminasi terjadi karena prasangka dan dalam kebanyakan masyarakat tidak disetujui.

Perbedaan Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka adalah sifat negative terhadapsesuatu.Dalam kondisi prasangka untuk menggapaiakumulasi materi tertentu atau untuk statussocial bagi suatu individu atau suatukelompok social tertentu.Seorang yang berprasangka rasial biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yangdiprasangkanya.

Sebab Timbulnya Prasangka
Berlatar belakang sejarah.Dilatar belakangi oleh perkembangan sosio-kultural dan situsional.Bersumber dari factor kepribadian.Berlatar belakang dari perbedaan keyakinan danagama.

Daya Upaya Untuk MengurangiPrasangka dan Diskriminasi
Perbaikan kondisi social ekonomi, pemerataan pembangunan, dan usaha peningkatan pendapatan bagi WNI yangmasih di bawah garis kemiskinan.Perluasan kesempatan belajar.Sikap terbuka dan lapang harus selalu kitasadari.

Etnosentrisme
Suku bangsa ras cenderung menganggapkebudayaan sebagai salah satu yang prima, riil,logis, sesuai kodrat alam,dsb.Etnosentrisme merupakan gejala social yanguniversal.Etnosentrik merupakan akibat etnosentrisme penyebab utama kesalah pahaman berkomunikasi.Etnosentrisme dapat dianggap sebagai sikapChauvinisme pernah dianut orang – orang Jermanzaman Nazi.

Contoh Kasus

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki potensi untuk terjadinya perpecahan. Hal ini terjadi karena adanya sikap etnosenris dan memandang kelompok lain dengan ukuran yang sama-sekali tidak ada konsesus atasnya. Terdapat lebih dari 200 suku dan 300 bahasa. Sehingga Indonesia adalah negara yang sangat kaya ada-istiadat. Namun, kekayaan itu akan menjadi lumpuh ketika perbedaan di antaranya tidak diperkuat oleh sikap nasionalisme. Hal bisa dilhat dari banyaknya konflik antaretnis di tahun 1990-an. Seperti tragedi Sampit, antar suku Madura dan Dayak. Dimana terdapat kecemburuan ekonomi anatar Madura sebagai pendatang dan Dayak sebagai penduduk asli. Tragedi Pos, Ambon, dan Perang adat di Papua.
Sebagai contoh di Papua. Seperti yang diberitakan Kompas Juli 2002, ada 312 suku yang menghuni Papua. Suku-suku ini merupakan penjabaran dari suku-suku asli yaitu Dani, Mee, Paniai, Amungme, Kamoro, biak, Ansus, Waropen, Bauzi, Asmat, Sentani, Nafri, Meyakh, Amaru, dan Iha. Setiap suku memiliki bahasa daerah (bahasa ibu) yang berbeda. Sehingga saat ini tedapat 312 bahasa di sana.
Tempat-tempat pemukiman suku-suku di Papua terbagi secara tradisional dengan corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya sendiri. Suku-suku yang mendiami pantai, gunung, dan hutan memiliki karakteristik kebudayaan dan kebiasaan berbeda.. Hal ini pula berimbas pada nilai, norma, ukuran, agama, dan cara hidup yang beranekaragam pula.
Keanekaragaman ini sering memicu konflik antarsuku. Misalnya yang terjadi pada tahun 2001, dimana terdapat perang adat antara suku Asmat dan Dani. Masing-masing-masing-masing suku merasa sukunyalah yang paling benar dan harus dihormati. Perang adat berlangsung bertahun-tahun. Karena sebelum adanya salah satu pihak yang kalah atau semkain kuat danmelebihi pihak yang lain, maka perang pun tidak akan pernah berakhir.
Fenomena yang sama juga banyak terjadi di kota-kota besar misalnya Yogyakarta. Sebagai kota multiultur, banyak sekali pendatang dari penjuru nusantara dengan latarbelakang kebudayaan yang berbeda Masig-masing-masing membawa kepentingan dan nilai dari daerah masing-masing. Kekhawatiran yang keudan muncul adalah adalnya sentiment primordial dan etnosentris. Misalnya mahasiswayang berasal dari Medan (suku Batak) akan selalu berkras pada pendirian dan sikap yang menyebut dirinya sebagai orang yang tegas, berpendirian, dan kasar (kasar dalam artian tegas). Sedangkan Melayu dikatakan pemalu, relijius, dan merasa lebih bisa diterima di mana pun berada. Sedangkan Jawa, akibat pengaruh orde baru, menganggap dirinya paling maju dari daerah lain. Sehingga ketika berhubungan dengan orang luar Jawa, maka stigma yang terbentuk adalah stigma negatif seperti malas, kasar, dan pemberontak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar