Nama : Irfan Novi Trihandoko
NPM : 31108034
Kelas : 2 DB 07
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Kewarganegaraan . Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas Kewarganegaraan.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa izin dan rahmatNya. Saya juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik berupa penulisan maupun dalam penyelesaiannya. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca makalah ini, guna mencapai kesempurnaan pada tugas-tugas yang akan datang. Saya juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Jakarta, 28 Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kebebasan Mengeluarkan Pendapat di Muka Umum
2.2 Kebebasan Berekspresi dan Batasannya
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di zaman modern seperti sekarang ini pada umumnya hampir semua negara menyatakan dirinya sebagai negara bersistem Demokrasi, termasuk Republik Indonesia yakni sistem pemerintahan yang bersumber pada Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan Rakyat merupakan paham kenegaraan yang menjabarkan dan pengaturannya dituangkan dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara, dan penerapan selanjutnya disesuaikan dengan filsafat kehidupan rakyat negara yang bersangkutan. Spirit kerakyatan yang menjadi watak negara Demokrasi merupakan syarat utama dalam
format negara yang berkedaulatan rakyat, karena kekuatan tertinggi terletak ditangan rakyat.
Kesetaraan martabat dan persamaan hak politik mengindikasikan tentang kesamaan hak politik dari setiap warganegara. Lebih dari itu, negara demokratis tidak bisa tidak harus menunjukkan adanya kebebasan politik yang menyangkut kebebasan berfikir, menyatakan pendapat dan aksi dalam urusan politik. Termasuk hal mendapat akses untuk informasi politik serta kebebasan untuk mendiskusikan dan mengkritik figur politik. Dalam negara Demokrasi selain menghargai mayoritas, juga pelaksanaan kekuasaan harus dipertanggungjawabkan dan responsif terhadap aspirasi rakyat. Demokrasi menuntut suatu dasar kesepakatan ideologis suatu keteraturan dan kebebasan sehingga ada sofistifikasi dalam pertarungan politik
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan Demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi pemerintahan sesuai dengan kehendaknya dapat dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidaklah sama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kebebasan Mengeluarkan Pendapat di Muka Umum
Sepuluh kriteria demokrasi yakni :
- Partisipasi dalam pembuatan keputusan
- Persamaan di depan hukum
- Distribusi pendapatan secara adil
- Kesempatan pendidikan yang sama
- Empat macam kebebasan yaitu, kebebasan mengeluarkan pendapat,
kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan
beragama
- Ketersediaan dan keterbukaan informasi
- Mengindahkan etika politik
- Kebebasan individu
- Semangat kerjasama
- Hak untuk protes
Dapat disimpulkan bahwa didalam negara yang menganut sistem pemerintahan Demokrasi terdapat adanya pengakuan dari negara bahwa setiap warga negara dapat secara bebas mengeluarkan pendapatnya dimuka umum. Kebebasan mengeluarkan pendapat dimuka umum di dalam konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 pasca Amandemen kedua telah diatur dalam pasal 28E ayat (3) yang menyatakan Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Yang dimaksutkan setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat dapat berbentuk ungkapan atau pernyataan dimuka umum atau dalam bentuk tulisan ataupun juga dapat berbentuk sebuah aksi unjuk rasa atau demonstrasi. Unjuk rasa atau demonstrasi dalam kenyataan sehari-hari sering menimbulkan permasalahan dalam tingkatan pelaksanaan, meskipun telah dijamin dalam konstitusi kita namun tata cara dan pelaksanaan unjuk rasa seringkali melukai spirit demokrasi itu sendiri. Aksi unjuk rasa seringkali berubah menjadi aksi yang anarkis dan melanggar tertib sosial yang telah terbangun dalam masyarakat. Tahun 1998 disaat awal mula tumbangnya Soeharto dimana puluhan ribu mahasiswa berunjuk rasa turun keruas-ruas jalan di Jakarta merupakan sebuah momen dimana unjuk rasa dapat menjadi aksi anarkis berupa perampokan, penjarahan dan pembakaran bahkan yang lebih parah aksi unjuk rasa dapat memakan korban jiwa.
Dengan melihat kondisi yang demikian tersebut Pemerintah pada tahun 1998 mengeluarkan Undang-Undang Nomer 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Meskipun tidak menyentuh secara detail tatacara dan pelaksanaan dari unjuk rasa itu sendiri namun Undang-undang ini memberikan sedikit harapan agar dikemudian hari aksi unjuk rasa tidak selalu diwarnai dengan aksi-aksi anarkis. Dalam Undang-undang tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1 yang dimaksudkan dengan Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang. Unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
Adapun tujuan pengaturan mengenai kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum ini seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 UU No.9 Tahun 1998 adalah sebagai berikut: Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat, mewujudkan iklim yang kondusif bagi perkembanganya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi, dan menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok
2.2 Kebebasan Berekspresi dan Batasannya
Meskipun banyak aspek hukum yang bisa dikaji dalam kasus Prita, inti dari permasalahan Prita sebenarnya terletak pada kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi dijamin oleh Pasal 28E yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Kasus penghinaan-penghinaan yang cenderung kasar di situs jejaring Facebook terhadap salah satu kandidat calon presiden merupakan contoh bentuk paling ekstrem dari kritik tajam bernada negatif. Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah apakah kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi ini memiliki batasan? Jika ya, sejauh mana? Di Amerika Serikat, pembuat ekspresi dilindungi oleh konstitusi AS yang melarang pemerintah melakukan tindakan yang dianggap "abridging the freedom of speech" atau menghalangi kebebasan berekspresi.
Namun di negara seliberal AS pun kebebasan berpendapat memiliki banyak batasan seperti tidak dilindunginya "hate speech", ekspresi yang menimbulkan kerusuhan, termasuk ekspresi yang mencemarkan nama baik. Namun, hukum AS telah memiliki batasan jelas mengenai pencemaran nama baik seperti apa yang tidak dilindungi konstitusi atau dengan kata lain dapat dipidanakan.
Batasannya antara lain, untuk isu yang menyangkut "masalah publik" dan terkait "tokoh publik" (seperti kasus penghinaan calon presiden di Facebook) harus dibuktikan terdapat kebohongan disengaja terkait dengan ekspresi yang dipermasalahkan dan pihak yang merasa dicemarkanlah yang memiliki beban pembuktian atas kebohongan tersebut. Apabila menyangkut "masalah publik" tapi tidak terkait "tokoh publik" (seperti kasus Prita), pihak yang merasa dicemarkan cukup membuktikan bahwa pihak yang berekspresi itu ceroboh sehingga mengakibatkan terjadinya kebohongan tersebut.
Sebagai tambahan, pihak yang dicemarkan harus membuktikan terjadinya kerugian material akibat ekspresi tersebut kecuali bila ekspresi itu tertulis. Indonesia sama sekali tidak memiliki batasan yang jelas mengenai kebebasan berekspresi. Hal ini tidak mengherankan karena kedua pasal pelindung kebebasan berekspresi hasil amendemen kedua UUD 1945 ini baru berumur 9 tahun--bandingkan dengan ketentuan serupa di AS yang telah berumur lebih dari dua abad.
Satu hal yang patut dicatat adalah AS mampu mengembangkan interpretasi serta batasan yang jelas mengenai kebebasan berekspresi-- maupun jaminan konstitusi lain seperti kebebasan beragama-- karena keberadaan pengaduan konstitusional atau constitutional complaint.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Maksud dari tujuan tersebut adalah bagaimana negara memberikan perlindungan dan menjamin kebebasan kepada setiap warganegara untuk menyampaikan pendapat di muka umum sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia namun juga diringi dengan tanggung jawab dari individu tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga dapat tercipta suasana yang kondusif bagi perkembangan partisipasi dan kreatifitas warganegara dalam keikutsertaannya untuk mewujudkan suasana yang demokratis.
Disadari atau tidak bahwa kebebasan berekspresi yang terjadi saat ini telah menimbulkan pemahaman yang sedikit melenceng dari yang sebenarnya. Pemahaman yang selama ini berkembang bahwa pada masa reformasi ini kebebasan dikeluarkan dengan sebebas-bebasnya sesuai dengan kehendak masing-masing individu tersebut tanpa ada pembatasan-pembatasan apapun juga perlu disadari bahwa Undang-Undang tidak membatasi adanya kebebasan mengeluarkan pendapat dimuka umum akan tetapi Undang-Undang bermaksud menjaga tertib sosial yang telah tercipta di masyarakat. Mengenai pemahaman yang berkembang di masyarakat bahwa adanya pemberitahuan sebelum pelaksanaan demonstrasi merupakan bentuk pengekangan dari kemerdekaan berekspresi tidak sepenuhnya benar karena dengan adanya pemberitahuan tersebut aparat keamanan justru harus bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan keamanan terhadap para demonstran maupun pengamanan terhadap keamanan dan ketertiban umum terutama disekitar lokasi yang digunakan untuk kegiatan demonstrasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. unisys.uii.ac.id
2. news.okezone.com
3. www.google.com
Senin, 01 Maret 2010
Pasal 28 D ayat 2 Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
Nama : Irfan Novi Trihandoko
NPM : 31108034
Kelas : 2 DB 07
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Kewarganegaraan . Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas Kewarganegaraan.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa izin dan rahmatNya. Saya juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik berupa penulisan maupun dalam penyelesaiannya. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca makalah ini, guna mencapai kesempurnaan pada tugas-tugas yang akan datang. Saya juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Jakarta, 28 Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tenaga Kerja
2.2 Permaslahan Upah yang Layak
2.3 Solusi Permasalahan Kasus Pekerja
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penilaian terhadap suatu pekerjaan dalam sebuah perusahaan merupakan suatu tahap evaluasi kerja yang dapat meningkatkan kualitas pekerjaan bagi kelangsungan aktivitas perusahaan di dalamnya. Pekerjaan yang diinginkan oleh perusahaan terhadap para pekerja memiliki standar mutu (quality) untuk mengukur keberhasilan kerja. Namun kualitas kerja dari beberapa pekerja tidak selamanya sesuai dengan standar mutu yang diberlakukan. Suatu saat situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk mencapai tujuan dan harapan perusahaan tersebut, sehingga menyebabkan penilaian terhadap prestasi kerja yang dihasilkan (performance) menjadi menurun. Stewart (1998:125-126) menyatakan bahwa penilaian kinerja karyawan merupakan salah satu butir dari delapan butir pemberdayaan. Jika proses
pemberdayaan melalui training telah dilaksanakan, pentinglah memantau perkembangannya dan menilai hasilnya. Pemantauan dan penilaian dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi sebagian ciri manajemen yang dijalankan, baik penilai maupun yang dinilai dengan mempertimbangkan sasaran-sasaran dan standar-standar yang telah ditetapkan, dipenuhi dan dicermati.
Penilaian prestasi kerja merupakan media yang tepat dan bermanfaat untuk mengevaluasi pekerjaan, mengembangkan dan memotivasi karyawan. Namun, penilaian prestasi kerja dapat juga menjadi sumber kerisauan, keributan, atau frustasi bagi karyawan. Hal tersebut dikarenakan masih adanya ketidak-pastian dan ambiguitas dalam sistem penilaiannya. Di sisi lain proses informasi merupakan isu yang sangat mendominasi dalam riset perilaku, salah satunya terkait dengan memori yang terkadang mengalami suatu bias. Contoh yang terjadi pada diri individu penilai yang ditujukan oleh keadaan dan kondisi yang dialami karena stres sehingga dapat menyebabkan adanya suatu perbedaan dimensi yang ada (efek halo). Artinya, pada karakter individu penilai terdapat subjektivitas seperti perbedaan antara laki-laki dan perempuan (gender), usia yang dinilai, agama, dan juga faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penilaian (Bretz, 1992: 324-325)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja dalam suatu Undang0undang termasuk kedalam UU Tenaga Kerja No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan revisinya. Namun dar itu ternyata upah buruh murah dan tidak adanya kepastian kerja karena sistem kerja kontrak dan outsourcing yang diterapkan oleh pemerintah, menjadi hambatan baru bagi rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan akibat aturan ketenagakerjaan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan demikian hendaknya pemerintah menetapkan peraturan hokum yang benar-benar menjamin kesejahteraan para buruh.
2.2. Permaslahan Upah yang Layak
Dalam dunia bisnis, upah merupakan hal yang sewajarnya sebagai bentuk kompensasi atas kontribusi yang diberikan buruh pada perusahaan. Artinya, eksistensi buruh dalam suatu perusahaan dimaknai dalam kerangka bisnis kemitraan yang harus mendapat bagian selayaknya.
Para ahli ekonomi bisnis telah menunjukkan bahwa upah yang tidak layak pada akhirnya menuju pada sebuah pemiskinan yang lebih di wilayah regional dan global, mengurangi daya beli dari berjuta-juta orang yang pada akhirnya menarik ke bawah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan upah yang masuk akal bagi jutaan buruh, hidup di bawah atau pada garis kemiskinan, dapat meningkatkan permintaan global, dan pada akhirnya membantu
Upah yang rendah atau tidak layak mendorong banyak buruh terlibat utang dan menyebabkan ketidaksetaraan pertumbuhan yang akan menghasilkan kegelisahan sosial dan pekerja. Peningkatan kegelisahan seperti itu telah direkam media di negara-negara Asia, terutama pada masa ekonomi melemah. Situasi seperti ini menciptakan ketidakpastian yang tidak mungkin baik bagi investasi maupun keberlanjutannya
2.3. Solusi Permasalahan kasus Pekerja
1. Nasionalisasi aset aset bangsa
Sebagian besar asset-aset bangsa Indonesia dikuasai oleh asing, seperti tambang emas di irianjaya, Epson mobil, dan lain sebagainya. Yang tentu saja hasilnya tidak sebanding bila dikelola sendiri. Dantentunya pemerintah mampu menargetkan tenaga kerja yang dibutuhkan secara proposional.
2. Pemberdayaan masyarakat
Hendaknya pemerintah mampu memberdayakan masyarakat, sehingga memilii semangat untuk berkarya, ditengah pdatnya persaingan di dunia kerja. Dengan demikian akan lahir pengusaha, pengrajin yang tentunya malah menciptakan lapanga pekerjaan.
2. Membersihkan lapangan kerja dari praktek korupsi kolusi dan nepotisme
Tak jarang dijumpai, bahwa di dunia kerja ada praktek korupsi kolusi dan nepotisme, hal ini berakibat tidak baik, karena akan saangat menggangu dunia kerja sendiri. Mulai dari kualitas kerja yang buruk hingga bngkrutnya perusahaan. Maka dari itu, perlu peran bersama untuk membersihkan dunia kerja dari praktek korupsi kolusi dan nepotisme.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pada dasarnya bahwa upah yang tidak layak pada akhirnya menuju pada sebuah pemiskinan yang lebih di wilayah regional dan global, mengurangi daya beli dari berjuta-juta orang yang pada akhirnya menarik ke bawah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan upah yang masuk akal bagi jutaan buruh, hidup di bawah atau pada garis kemiskinan, dapat meningkatkan permintaan global, dan pada akhirnya membantu
DAFTAR PUSTAKA
1. www.wikipedia.com
2. www.radarlampung.com
3. www.google.com
NPM : 31108034
Kelas : 2 DB 07
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Kewarganegaraan . Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas Kewarganegaraan.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa izin dan rahmatNya. Saya juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik berupa penulisan maupun dalam penyelesaiannya. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca makalah ini, guna mencapai kesempurnaan pada tugas-tugas yang akan datang. Saya juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Jakarta, 28 Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tenaga Kerja
2.2 Permaslahan Upah yang Layak
2.3 Solusi Permasalahan Kasus Pekerja
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penilaian terhadap suatu pekerjaan dalam sebuah perusahaan merupakan suatu tahap evaluasi kerja yang dapat meningkatkan kualitas pekerjaan bagi kelangsungan aktivitas perusahaan di dalamnya. Pekerjaan yang diinginkan oleh perusahaan terhadap para pekerja memiliki standar mutu (quality) untuk mengukur keberhasilan kerja. Namun kualitas kerja dari beberapa pekerja tidak selamanya sesuai dengan standar mutu yang diberlakukan. Suatu saat situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk mencapai tujuan dan harapan perusahaan tersebut, sehingga menyebabkan penilaian terhadap prestasi kerja yang dihasilkan (performance) menjadi menurun. Stewart (1998:125-126) menyatakan bahwa penilaian kinerja karyawan merupakan salah satu butir dari delapan butir pemberdayaan. Jika proses
pemberdayaan melalui training telah dilaksanakan, pentinglah memantau perkembangannya dan menilai hasilnya. Pemantauan dan penilaian dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi sebagian ciri manajemen yang dijalankan, baik penilai maupun yang dinilai dengan mempertimbangkan sasaran-sasaran dan standar-standar yang telah ditetapkan, dipenuhi dan dicermati.
Penilaian prestasi kerja merupakan media yang tepat dan bermanfaat untuk mengevaluasi pekerjaan, mengembangkan dan memotivasi karyawan. Namun, penilaian prestasi kerja dapat juga menjadi sumber kerisauan, keributan, atau frustasi bagi karyawan. Hal tersebut dikarenakan masih adanya ketidak-pastian dan ambiguitas dalam sistem penilaiannya. Di sisi lain proses informasi merupakan isu yang sangat mendominasi dalam riset perilaku, salah satunya terkait dengan memori yang terkadang mengalami suatu bias. Contoh yang terjadi pada diri individu penilai yang ditujukan oleh keadaan dan kondisi yang dialami karena stres sehingga dapat menyebabkan adanya suatu perbedaan dimensi yang ada (efek halo). Artinya, pada karakter individu penilai terdapat subjektivitas seperti perbedaan antara laki-laki dan perempuan (gender), usia yang dinilai, agama, dan juga faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penilaian (Bretz, 1992: 324-325)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja dalam suatu Undang0undang termasuk kedalam UU Tenaga Kerja No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan revisinya. Namun dar itu ternyata upah buruh murah dan tidak adanya kepastian kerja karena sistem kerja kontrak dan outsourcing yang diterapkan oleh pemerintah, menjadi hambatan baru bagi rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan akibat aturan ketenagakerjaan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan demikian hendaknya pemerintah menetapkan peraturan hokum yang benar-benar menjamin kesejahteraan para buruh.
2.2. Permaslahan Upah yang Layak
Dalam dunia bisnis, upah merupakan hal yang sewajarnya sebagai bentuk kompensasi atas kontribusi yang diberikan buruh pada perusahaan. Artinya, eksistensi buruh dalam suatu perusahaan dimaknai dalam kerangka bisnis kemitraan yang harus mendapat bagian selayaknya.
Para ahli ekonomi bisnis telah menunjukkan bahwa upah yang tidak layak pada akhirnya menuju pada sebuah pemiskinan yang lebih di wilayah regional dan global, mengurangi daya beli dari berjuta-juta orang yang pada akhirnya menarik ke bawah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan upah yang masuk akal bagi jutaan buruh, hidup di bawah atau pada garis kemiskinan, dapat meningkatkan permintaan global, dan pada akhirnya membantu
Upah yang rendah atau tidak layak mendorong banyak buruh terlibat utang dan menyebabkan ketidaksetaraan pertumbuhan yang akan menghasilkan kegelisahan sosial dan pekerja. Peningkatan kegelisahan seperti itu telah direkam media di negara-negara Asia, terutama pada masa ekonomi melemah. Situasi seperti ini menciptakan ketidakpastian yang tidak mungkin baik bagi investasi maupun keberlanjutannya
2.3. Solusi Permasalahan kasus Pekerja
1. Nasionalisasi aset aset bangsa
Sebagian besar asset-aset bangsa Indonesia dikuasai oleh asing, seperti tambang emas di irianjaya, Epson mobil, dan lain sebagainya. Yang tentu saja hasilnya tidak sebanding bila dikelola sendiri. Dantentunya pemerintah mampu menargetkan tenaga kerja yang dibutuhkan secara proposional.
2. Pemberdayaan masyarakat
Hendaknya pemerintah mampu memberdayakan masyarakat, sehingga memilii semangat untuk berkarya, ditengah pdatnya persaingan di dunia kerja. Dengan demikian akan lahir pengusaha, pengrajin yang tentunya malah menciptakan lapanga pekerjaan.
2. Membersihkan lapangan kerja dari praktek korupsi kolusi dan nepotisme
Tak jarang dijumpai, bahwa di dunia kerja ada praktek korupsi kolusi dan nepotisme, hal ini berakibat tidak baik, karena akan saangat menggangu dunia kerja sendiri. Mulai dari kualitas kerja yang buruk hingga bngkrutnya perusahaan. Maka dari itu, perlu peran bersama untuk membersihkan dunia kerja dari praktek korupsi kolusi dan nepotisme.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pada dasarnya bahwa upah yang tidak layak pada akhirnya menuju pada sebuah pemiskinan yang lebih di wilayah regional dan global, mengurangi daya beli dari berjuta-juta orang yang pada akhirnya menarik ke bawah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan upah yang masuk akal bagi jutaan buruh, hidup di bawah atau pada garis kemiskinan, dapat meningkatkan permintaan global, dan pada akhirnya membantu
DAFTAR PUSTAKA
1. www.wikipedia.com
2. www.radarlampung.com
3. www.google.com
Pasal 28 D Ayat 1 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
Nama : Irfan Novi Trihandoko
NPM : 31108034
Kelas : 2 DB 07
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Kewarganegaraan . Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas Kewarganegaraan.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa izin dan rahmatNya. Saya juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik berupa penulisan maupun dalam penyelesaiannya. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca makalah ini, guna mencapai kesempurnaan pada tugas-tugas yang akan datang. Saya juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Jakarta, 28 Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hak-hak Hukum Warganegara
2.2 Sebuah Tinjauan Yuridis Terhadap Bantuan Hukum
2.3 Advokat dan Dilema Bantuan Hukum
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak manusia lahir telah bersinggungan dengan hukum. Seorang anak manusia tentu akan memiliki orang tua, baik itu bapak atau dan ibu, bahkan orang tua asuh. Dalam arti sehari-hari orang tua itu bertanggungjawab dalam segala hal yang berkaitan dengan anaknya. Sedangkan dalam arti hukum, anak yang belum dewasa itu belum dapat bertindak sebagai subyek hukum atau biasa disebut belum dewasa. Jadi segala kepentingan atau urusan yang berkaitan dengan kepentingan hukum si anak, akan diurus oleh orang tuanya atau walinya. Misalnya, anak yang belum dewasa belum dapat mengemudikan kendaraan bermotor, karena tidak diperbolehkan untuk mendapatkan surat ijin mengemudi (SIM). Anak yang belum dewasa tidak dapat melakukan perjanjian-perjanjian, misalnya menjual atau membeli tanah, bangunan, dan atau rumah.
Untuk uraian lebih lanjut, mengenai pengenalan sistem hukum di Indonesia dan jenis-jenis pengadilan-pengadilan yang ada di Indonesia, dapat melihat kepada bagian:
Memahami Sistem Hukum Indonesia. Negara sebagai penyelenggara pemerintahan berarti melayani warga negara untuk mencapai keadilan, ketertiban dan kemaslahatan hidup. Jikalau warga negara mengalami ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penderitaan yang berkepanjangan dari aparat negara, dan/atau sesama warga negara, maka kita harus bertindak memperbaikinya, melalui saluran hukum dan politik. Hak asasi manusia merupakan milik manusia sejak lahir, bukan diberikan oleh Negara atau siapapun juga, sehingga hidup manusia menjadi terhindar dari ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penderitaan melalui penegakan hak-hak asasi tersebut. Hak asasi manusia tidak akan datang dari langit begitu saja, tetapi harus kita tegakkan terus menerus, hingga langit itu sendiri bila perlu
runtuh, untuk tegaknya hak asasi manusia.Misal saja, hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari siapa saja yang paham hukum demi tercapainya keadilan, ketertiban, dan kemaslahatanhidup.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hak-hak Hukum Warganegara
Seluruh aspek kehidupan manusia diatur dalam tatanan hukum. Sehingga hukum yang berlaku sangatlah banyak sekali. Sehingga sangatlah tidak mungkin manusia itu dapat mengetahui semua aturan hukum yang berlaku tersebut. Misalnya Pasal 19(2) UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur bahwa sesorang tidak boleh dihukum pidana karena tidak mampu membayar hutang. Namun demikian, aturan hukum berlaku bagi semua orang. Tidak ada alasan, atau tidak dapat dibenarkan jika seseorang dapat, tau melanggar hukum, karena ia belum atau tidak tahu hukum, sehingga ia tidak akan bebas dari ancaman hukum. Karenanya, muncul orang yang mendalami khusus mengenai aturan hukum tersebut. Secara professional mereka disebut ahli hukum, advokat, atau penasehat hukum (lawyer). Profesi inilah yang akan memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan akan nasehat hukum, atau biasa disebut dengan Klien.
Negara telah memberikan jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum dalam Konstitusi, UU, serta peraturan pelaksanaannya. Semuanya mengatur mengenai advokat, syarat-syarat mendapatkan bantuan hukum, serta aturan bagaimana melaksanakannya dan akibatnya apabila tidak dilaksanakan. Jelas dijamin di dalam UUD 1945 Pasal 27(1) berbunyi: “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ditambahkan pula jaminannya bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D(1)). Ini diperinci lagi di dalam Pasal 28I(1) UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Kemudian jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum pula telah diatur dalam UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia didalam Pasal 17, 18, 19, dan 34. Baru-baruini, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasionaltentang Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak-hak Sipol - InternationalCovenant on Civil dan Political Rights), yang pada Pasal 16 serta Pasal 26 Konvensi itumenjamin akan persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law). Semuaorang berhak untuk perlindungan dari hukum serta harus dihindarkan adanya diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin,bahasa, agama, pandangan politik berbeda, nasional atau asal-muasal kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status yang lain-lainnya.
Dalam UU No.14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan perubahannya dalam UU No.35/1999, diatur dalam Pasal 35, 36, dan 37, bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Baik dalam perkara pidana maupun perdata. Dijelaskan bahwa advokat membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila, hukum, dan keadilan
Selanjutnya, UU No.8/1981 tentang Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam Pasal 54 penyatakan, guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum. Bantuan ini dilakukan oleh seorang atau lebih penasehat hukum, selama dalam waktu, dan pada setiap tingkat pemeriksaan.
UU No.18/2003 tentang Advokat, dalam Pasal 22, mewajibkan advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Dijabarkan pula di dalam Kode Etik Advokat Indonesia, pada Pasal 7(h), bahwa advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu.
2.2 Sebuah Tinjauan Yuridis Terhadap Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan salah satu hak dasar warga Negara. Hanya yang menjadi permasalahan utama disini adalah, apakah bantuan hokum ini dapat diperoleh dengan mudah (acces to abiality) oleh masyarakat atau tidak, termasuk pada aspek jaminan ekonomisnya. Satu contoh sederhana dapat kita lihat dalam penggunaan jasa advokat sebagai tenaga bantuan hokum formal (legal aid), yang diakui dalam system hokum kita. Begitu banyak mmasyarakat yang enggan menggunakan jasa advokat ini karena dianggap terlalu mahal. Ibarat system pendidikan yang kian mahal hari ini, sehingga akses masyarakat semakin terbatas, demikian pulalah yang terjadi dalam system hokum kita hari ini. Bantuan hokum yang seharusnya menjadi hak dasar warga Negara, justru terasa jauh dari apa yang diamanahkan oleh konstitusi dasar Negara kita.
Didalam Undang-undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28D ayat (1) menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Ini merupakan pijakan dasar dan perintah konstitusi untuk menjamin setiap warga Negara, termasuk orang yang tidak mampu, untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan dengan baik. Posisi dan kedudukan seseorang didepan hokum (the equality of law) ini, menjadi sangat penting dalam mewujudkan tatanan system hukum serta rasa keadilan masyarakat kita.
2.3 Advokat dan Dilema Bantuan Hukum
Advokat atau pengacara sebagai profesi yang berkaitan langsung dengan bantuan hokum Cuma-Cuma ini, bahkan diperintahkan oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, untuk memberikan bantuan hokum bagi masyarakat yang kurang mampu. Namun yang sangat disayangkan, justru akses ini tidak secara jelas diatur sebagai tanggung jawab Negara. Pasal 22 ayat (1) dalam undang-undang ini meyebutkan secara tegas bahwa, “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Dan kewajiban ini melekat kepada siapapun yang berprofesi sebagai advokat, dimanapun ia berada.
Namun permasalahannya adalah, mainstream utama profesi advokat hari ini justru terjebak dengan logika pasar dan ekonomi. Dimana bantuan hokum tidak lagi mampu ditempatkan sebagai kewajiban, namun tidak lebih dari sebagai sebuah bisnis. Bantuan hokum diperdagangkan sedemikian rupa. Siapa yang menawar lebih tinggi, maka berhak mendapatkan bantuan hokum yang jauh lebih memuaskan disbanding mereka yang bayarannya sedikit. Coba kita bayangkan bagaimana dengan mereka yang tidak mampu?. Jika benar demikian adanya, tentu dibutuhkan suatu upaya tegas dari Negara untuk meberikan jaminan sepenuhnya terhadap bantuan hokum dan akses keadilan bagi masyarakat. Ada beberapa hal yang menajadi catatan penting untuk menjawab permasalah dilem bantuan hokum ini, antara lain :
Pertama, Bahwa untuk mengoptimalkan akses keadilan bagi masyarakat, khususnya hak untuk memperoleh bantuan hukum, memang diperlukan suatu bentuk regulasi yang lebih jelas dan tegas. Meskipun konstitusi telah mengamanahkan hak bantuan hokum ini, namun terjemahan kongkritnya belum tertuang sama sekali dalam perundang-undangan kita. UU advokat maupun UU Kekuasaan Kehakiman menjadi sia-sia jika permasalahan bantuan hokum ini tidak mampu dibuatkan aturan yang lebih implisit. Regulasi tersebut bisa dalam bentuk UU Bantuan Hukum, atau ditingkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, bisa diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Dengan demikian, maka akan dicapai 2 (dua) hal yang penting, Bahwa Negara dan pemerintah betul-betul dapat memenuhi kejaibannya terhadap warga negaranya, dan hal lainnya adalah, bahwa teknis dan tata cara pemberian bantuan hokum dapat tercermin secara kongkrit dan tidak mengambang.
Kedua, Menyambung pada point pertama, bahwa bantuan hokum Cuma-Cuma adalah tanggung jawab Negara terhadap warga negaranya. Untuk itu, jika selama ini beban bantuan hokum hanya diberikan kepada advokat, maka sudah saatnya pola ini dirubah. Dimana advokat hanya menjadi pelaksana teknis pemberian bantuan hokum, namun penanggung jawabnya tetap berada di pemerintah dan lembaga-lembaga dibawahnya. Selama ini, advokat yang menolak pemberian bantuan hokum Cuma-Cuma bagi masyarakat yang kurang mampu, tidak mendapatkan sanksi apa-apa selain dari organisasi advokat yang bersangkutan. Tidak diperoleh sama sekali sanksi tegas terhadap penolakan pemenuhan hak dasar bantuan hokum tersebut.
Ketiga, diperlukan tenaga pendamping bantuan hokum, diluar profesi advokat yang sudah ada. Tenaga pendamping ini bisa diwujudkan dalam bentuk “Paralegal”, atau mereka yang memiliki kecakapan khusus dibidang hokum dan dapat mendampingi masyarakat yang membutuhkan, dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat kita. Kita harus mendorong keberadaan pemahaman bahwa permasalahan bantuan hokum tidak hanya dimonopoli oleh advokat semata. Hal ini sejalan dengan putusan mahakamah konstitusi yang mencabut klausul yang tertuang pada 31 Ungdang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat yang berbunyi : “setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Keputusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut merupakan putusan yang bersifat hokum tetap serta pertama dan yang terakhir (the first and the last), oleh karenanya semua pihak harus harus menghotmati keputusan tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan demikian setiap orang berhak untuk mendapatkan bantuan hukum, dalam setiap hal yang berhubungan dengan apa saja, tidak ada larangan bagi siapa saja meminta bantuan hukum kepada advokat. Orang buta hukum atau orang miskinpun berhak memilih advokat yang cocok dan bersedia memberikan jasa bantuan hukum baginya.
Bantuan hukum dapat dimintakan kapan saja, sehingga tidak hanya ketika menghadapi persoalan hukum dengan polisi, jaksa, hakim atau pengadilan, dan atau berhadapan dengan sesama warga negara lainnya. Bantuan hukum dapat dimintakan untuk perkara pidana, perdata, administrasi negara, perburuhan, dan sebagainya. Tidak ada larangan sama sekali untuk mendapatkan bantuan hukum mengenai apa saja, kapan saja, dan di mana saja
DAFTAR PUSTAKA
1. www.wikipedia.com
2. www.google.com
NPM : 31108034
Kelas : 2 DB 07
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Kewarganegaraan . Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas Kewarganegaraan.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa izin dan rahmatNya. Saya juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik berupa penulisan maupun dalam penyelesaiannya. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca makalah ini, guna mencapai kesempurnaan pada tugas-tugas yang akan datang. Saya juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Jakarta, 28 Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hak-hak Hukum Warganegara
2.2 Sebuah Tinjauan Yuridis Terhadap Bantuan Hukum
2.3 Advokat dan Dilema Bantuan Hukum
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak manusia lahir telah bersinggungan dengan hukum. Seorang anak manusia tentu akan memiliki orang tua, baik itu bapak atau dan ibu, bahkan orang tua asuh. Dalam arti sehari-hari orang tua itu bertanggungjawab dalam segala hal yang berkaitan dengan anaknya. Sedangkan dalam arti hukum, anak yang belum dewasa itu belum dapat bertindak sebagai subyek hukum atau biasa disebut belum dewasa. Jadi segala kepentingan atau urusan yang berkaitan dengan kepentingan hukum si anak, akan diurus oleh orang tuanya atau walinya. Misalnya, anak yang belum dewasa belum dapat mengemudikan kendaraan bermotor, karena tidak diperbolehkan untuk mendapatkan surat ijin mengemudi (SIM). Anak yang belum dewasa tidak dapat melakukan perjanjian-perjanjian, misalnya menjual atau membeli tanah, bangunan, dan atau rumah.
Untuk uraian lebih lanjut, mengenai pengenalan sistem hukum di Indonesia dan jenis-jenis pengadilan-pengadilan yang ada di Indonesia, dapat melihat kepada bagian:
Memahami Sistem Hukum Indonesia. Negara sebagai penyelenggara pemerintahan berarti melayani warga negara untuk mencapai keadilan, ketertiban dan kemaslahatan hidup. Jikalau warga negara mengalami ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penderitaan yang berkepanjangan dari aparat negara, dan/atau sesama warga negara, maka kita harus bertindak memperbaikinya, melalui saluran hukum dan politik. Hak asasi manusia merupakan milik manusia sejak lahir, bukan diberikan oleh Negara atau siapapun juga, sehingga hidup manusia menjadi terhindar dari ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penderitaan melalui penegakan hak-hak asasi tersebut. Hak asasi manusia tidak akan datang dari langit begitu saja, tetapi harus kita tegakkan terus menerus, hingga langit itu sendiri bila perlu
runtuh, untuk tegaknya hak asasi manusia.Misal saja, hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari siapa saja yang paham hukum demi tercapainya keadilan, ketertiban, dan kemaslahatanhidup.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hak-hak Hukum Warganegara
Seluruh aspek kehidupan manusia diatur dalam tatanan hukum. Sehingga hukum yang berlaku sangatlah banyak sekali. Sehingga sangatlah tidak mungkin manusia itu dapat mengetahui semua aturan hukum yang berlaku tersebut. Misalnya Pasal 19(2) UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur bahwa sesorang tidak boleh dihukum pidana karena tidak mampu membayar hutang. Namun demikian, aturan hukum berlaku bagi semua orang. Tidak ada alasan, atau tidak dapat dibenarkan jika seseorang dapat, tau melanggar hukum, karena ia belum atau tidak tahu hukum, sehingga ia tidak akan bebas dari ancaman hukum. Karenanya, muncul orang yang mendalami khusus mengenai aturan hukum tersebut. Secara professional mereka disebut ahli hukum, advokat, atau penasehat hukum (lawyer). Profesi inilah yang akan memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan akan nasehat hukum, atau biasa disebut dengan Klien.
Negara telah memberikan jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum dalam Konstitusi, UU, serta peraturan pelaksanaannya. Semuanya mengatur mengenai advokat, syarat-syarat mendapatkan bantuan hukum, serta aturan bagaimana melaksanakannya dan akibatnya apabila tidak dilaksanakan. Jelas dijamin di dalam UUD 1945 Pasal 27(1) berbunyi: “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ditambahkan pula jaminannya bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D(1)). Ini diperinci lagi di dalam Pasal 28I(1) UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Kemudian jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum pula telah diatur dalam UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia didalam Pasal 17, 18, 19, dan 34. Baru-baruini, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasionaltentang Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak-hak Sipol - InternationalCovenant on Civil dan Political Rights), yang pada Pasal 16 serta Pasal 26 Konvensi itumenjamin akan persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law). Semuaorang berhak untuk perlindungan dari hukum serta harus dihindarkan adanya diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin,bahasa, agama, pandangan politik berbeda, nasional atau asal-muasal kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status yang lain-lainnya.
Dalam UU No.14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan perubahannya dalam UU No.35/1999, diatur dalam Pasal 35, 36, dan 37, bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Baik dalam perkara pidana maupun perdata. Dijelaskan bahwa advokat membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila, hukum, dan keadilan
Selanjutnya, UU No.8/1981 tentang Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam Pasal 54 penyatakan, guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum. Bantuan ini dilakukan oleh seorang atau lebih penasehat hukum, selama dalam waktu, dan pada setiap tingkat pemeriksaan.
UU No.18/2003 tentang Advokat, dalam Pasal 22, mewajibkan advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Dijabarkan pula di dalam Kode Etik Advokat Indonesia, pada Pasal 7(h), bahwa advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu.
2.2 Sebuah Tinjauan Yuridis Terhadap Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan salah satu hak dasar warga Negara. Hanya yang menjadi permasalahan utama disini adalah, apakah bantuan hokum ini dapat diperoleh dengan mudah (acces to abiality) oleh masyarakat atau tidak, termasuk pada aspek jaminan ekonomisnya. Satu contoh sederhana dapat kita lihat dalam penggunaan jasa advokat sebagai tenaga bantuan hokum formal (legal aid), yang diakui dalam system hokum kita. Begitu banyak mmasyarakat yang enggan menggunakan jasa advokat ini karena dianggap terlalu mahal. Ibarat system pendidikan yang kian mahal hari ini, sehingga akses masyarakat semakin terbatas, demikian pulalah yang terjadi dalam system hokum kita hari ini. Bantuan hokum yang seharusnya menjadi hak dasar warga Negara, justru terasa jauh dari apa yang diamanahkan oleh konstitusi dasar Negara kita.
Didalam Undang-undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28D ayat (1) menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Ini merupakan pijakan dasar dan perintah konstitusi untuk menjamin setiap warga Negara, termasuk orang yang tidak mampu, untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan dengan baik. Posisi dan kedudukan seseorang didepan hokum (the equality of law) ini, menjadi sangat penting dalam mewujudkan tatanan system hukum serta rasa keadilan masyarakat kita.
2.3 Advokat dan Dilema Bantuan Hukum
Advokat atau pengacara sebagai profesi yang berkaitan langsung dengan bantuan hokum Cuma-Cuma ini, bahkan diperintahkan oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, untuk memberikan bantuan hokum bagi masyarakat yang kurang mampu. Namun yang sangat disayangkan, justru akses ini tidak secara jelas diatur sebagai tanggung jawab Negara. Pasal 22 ayat (1) dalam undang-undang ini meyebutkan secara tegas bahwa, “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Dan kewajiban ini melekat kepada siapapun yang berprofesi sebagai advokat, dimanapun ia berada.
Namun permasalahannya adalah, mainstream utama profesi advokat hari ini justru terjebak dengan logika pasar dan ekonomi. Dimana bantuan hokum tidak lagi mampu ditempatkan sebagai kewajiban, namun tidak lebih dari sebagai sebuah bisnis. Bantuan hokum diperdagangkan sedemikian rupa. Siapa yang menawar lebih tinggi, maka berhak mendapatkan bantuan hokum yang jauh lebih memuaskan disbanding mereka yang bayarannya sedikit. Coba kita bayangkan bagaimana dengan mereka yang tidak mampu?. Jika benar demikian adanya, tentu dibutuhkan suatu upaya tegas dari Negara untuk meberikan jaminan sepenuhnya terhadap bantuan hokum dan akses keadilan bagi masyarakat. Ada beberapa hal yang menajadi catatan penting untuk menjawab permasalah dilem bantuan hokum ini, antara lain :
Pertama, Bahwa untuk mengoptimalkan akses keadilan bagi masyarakat, khususnya hak untuk memperoleh bantuan hukum, memang diperlukan suatu bentuk regulasi yang lebih jelas dan tegas. Meskipun konstitusi telah mengamanahkan hak bantuan hokum ini, namun terjemahan kongkritnya belum tertuang sama sekali dalam perundang-undangan kita. UU advokat maupun UU Kekuasaan Kehakiman menjadi sia-sia jika permasalahan bantuan hokum ini tidak mampu dibuatkan aturan yang lebih implisit. Regulasi tersebut bisa dalam bentuk UU Bantuan Hukum, atau ditingkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, bisa diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Dengan demikian, maka akan dicapai 2 (dua) hal yang penting, Bahwa Negara dan pemerintah betul-betul dapat memenuhi kejaibannya terhadap warga negaranya, dan hal lainnya adalah, bahwa teknis dan tata cara pemberian bantuan hokum dapat tercermin secara kongkrit dan tidak mengambang.
Kedua, Menyambung pada point pertama, bahwa bantuan hokum Cuma-Cuma adalah tanggung jawab Negara terhadap warga negaranya. Untuk itu, jika selama ini beban bantuan hokum hanya diberikan kepada advokat, maka sudah saatnya pola ini dirubah. Dimana advokat hanya menjadi pelaksana teknis pemberian bantuan hokum, namun penanggung jawabnya tetap berada di pemerintah dan lembaga-lembaga dibawahnya. Selama ini, advokat yang menolak pemberian bantuan hokum Cuma-Cuma bagi masyarakat yang kurang mampu, tidak mendapatkan sanksi apa-apa selain dari organisasi advokat yang bersangkutan. Tidak diperoleh sama sekali sanksi tegas terhadap penolakan pemenuhan hak dasar bantuan hokum tersebut.
Ketiga, diperlukan tenaga pendamping bantuan hokum, diluar profesi advokat yang sudah ada. Tenaga pendamping ini bisa diwujudkan dalam bentuk “Paralegal”, atau mereka yang memiliki kecakapan khusus dibidang hokum dan dapat mendampingi masyarakat yang membutuhkan, dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat kita. Kita harus mendorong keberadaan pemahaman bahwa permasalahan bantuan hokum tidak hanya dimonopoli oleh advokat semata. Hal ini sejalan dengan putusan mahakamah konstitusi yang mencabut klausul yang tertuang pada 31 Ungdang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat yang berbunyi : “setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Keputusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut merupakan putusan yang bersifat hokum tetap serta pertama dan yang terakhir (the first and the last), oleh karenanya semua pihak harus harus menghotmati keputusan tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan demikian setiap orang berhak untuk mendapatkan bantuan hukum, dalam setiap hal yang berhubungan dengan apa saja, tidak ada larangan bagi siapa saja meminta bantuan hukum kepada advokat. Orang buta hukum atau orang miskinpun berhak memilih advokat yang cocok dan bersedia memberikan jasa bantuan hukum baginya.
Bantuan hukum dapat dimintakan kapan saja, sehingga tidak hanya ketika menghadapi persoalan hukum dengan polisi, jaksa, hakim atau pengadilan, dan atau berhadapan dengan sesama warga negara lainnya. Bantuan hukum dapat dimintakan untuk perkara pidana, perdata, administrasi negara, perburuhan, dan sebagainya. Tidak ada larangan sama sekali untuk mendapatkan bantuan hukum mengenai apa saja, kapan saja, dan di mana saja
DAFTAR PUSTAKA
1. www.wikipedia.com
2. www.google.com
Pasal 28 B ayat 2 Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Nama : Irfan Novi Trihandoko
NPM : 31108034
Kelas : 2 DB 07
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Kewarganegaraan . Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas Kewarganegaraan.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa izin dan rahmatNya. Saya juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik berupa penulisan maupun dalam penyelesaiannya. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca makalah ini, guna mencapai kesempurnaan pada tugas-tugas yang akan datang. Saya juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Jakarta, 28 Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Tindakan Eksploitasi Anak
2.2. Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat dan Orang tua
2.3. Pengaruh Anak Melihat Siaran Televisi
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah merupakan masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga Negara berkewajiban untuk memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, memberikan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, karena anak dari sisi perkembangan fisik dan psikis manusia merupakan pribadi yang lemah, belum dewasa dan masih membutuhkan perlindungan
Sekjend. Komnas Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait sebagai pemateri dalam sosialisasi tersebut mengatakan bahwa posisi Anak dalam Konstitusi UUD 1945, terdapat dalam pasal 28 B ayat 2 yaitu : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Hak-hak Anak dalam berbagai Undang-Undang, antara lain UU No. 39/1999 tentang HAM maupun UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dengan jelas mengatakan bahwa Akta Kelahiran menjadi hak anak dan merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya. Dalam UU tersebut dikatakan juga bahwa anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tindakan Eksploitasi Anak
Tindakan yang dilakukan oleh orang tua, teman atau orang yang berkepentingan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan tidak dibenarkan. Dengan cara memperalat, memanfaatkan atau memeras anak tidaklah sangat manusiawi, Eksploitasi seksual terhadap anak mempunyai dampak yang sangat besar dalam kehidupan selanjutnya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mereka terjerumus dalam dunia pelacuran, antara lain rata-rata anak-anak mengaliami tekanan di dalam rumah:
1. Tekanan ekonomi, orangtua memaksa anaknya untuk menghidupi sendiri dan
memenuhi kebutuhan sekolah sendiri.
2. Tekanan psikologis, beberapa mengalami stres karena kurang kasih sayang, diacuhkan
orang tua dan merasa orang tua mereka terlalu banyak aturan yang menekan perasaan
mereka sama sekali tidak ada kebebasan.
3. Kekerasan fisik, kebanyakan dilakukan oleh bapak mereka ketika anak melakukan
pelanggaran terhadap aturan rumah.
4. Penyalahgunaan seksual, dialamai oleh salah seorang anak dampingan yang dilakukan
oleh kakak kandung sendiri.
Sedangkan tekanan dari luar yang mendukung mereka ketika mendapatkan tekanan dari rumah:
1. Pengaruh teman-teman sekolah yang mulai mengenalkannya dengan diskotik.
2. Pengaruh teman-teman kerja (pabrik, pub, billyard) yang mengenalkan pada kerja
tambahan untuk mendapatkan uang lebih dengan menemani para tamu untuk minum
atau ngedrug.
3. Hubungan sex pra nikah dengan pacar kemudian putus.
4. Dijebak baik oleh teman sendiri atau germo yang mengaku sebagai sahabat baru bagi
mereka untuk memakai salah satu jenis drug, kemudian merasa enjoy dan addic
kemudian mereka terpaksa melacur untuk bisa mendapatkan drug.
Namun ada beberapa solusi terhadap anak yang bekerja di tempat atau bersama orang dewasa, ada beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain:
1. Pelayanan pendidikan perlu dipastikan dan sifatnya harus gratis, wajib, relevan dan
menarik. Semua anak berhak atas pendidikan. Anak-anak dan orang tua harus melihat
sekolah sebagai pilihan yang lebih baik daripada bekerja.
2. Pemerintah harus memastikan agar semua anak punya akses terhadap pendidikan yang
wajib sebagai upaya pertama mengatasi masalah pekerja anak. Pemerintah harus
memiliki komitmen terhadap standar internasional, misalnya Konvensi International
Labour Organization (ILO) Convention No.182 mengenai bentuk-bentuk terburuk
pekerja anak yang telah diratifikasi 132 negara. Pemerintah harus memastikan agar ada
hukum yang bisa menjadi dasar untuk menindak pengusaha yang mengeksploitir anak.
3. Tersedianya sumber daya untuk upaya ini. Masalah pekerja anak harus menjadi agenda
penting bagi Departemen Keuangan maupun Depsos dan instansi terkait lainnya.
4. Sikap dan perilaku keluarga harus berubah. Sering kali keluarga dan masyarakat tidak
keberatan bila anak bekerja. Bahkan seringkali bekerja dianggap lebih tepat bagi anak
perempuan dari pada bersekolah. Sikap seperti ini harus diubah karena tidak akan
memberikan perlindungan bagi anak.
5. Hukum dan peraturan yang melarang pekerja anak harus diterapkan. Yang lebih
penting tentu saja penegakannya secara konsisten.
6. Pemerintah dan pihak lain harus mengetahui berapa banyak anak bekerja dalam
berbagai bidang. Pemerintah juga harus mengetahui gender, usia dan etnis anak untuk
memahami mengapa mereka menjadi rentan pada awalnya dan untuk menentukan t
tindakan yang tepat.
7. Anak-anak harus segera diangkat dari jenis pekerjaan terburuk bagi pekerja anak dan
diberi perawatan dan pendidikan. Pendapat anak perlu diperhitungkan dalam program-
program yang bertujuan untuk membantu pekerja anak. Jika anak-anak akan diberi
alternatif agar tidak lagi terlibat dalam pekerjaan berbahaya, maka mereka harus
menjadi mitra dalam menentukan jenis alternatif tersebut.
2.2 Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat dan Orang tua
Perlindungan anak terhadap segala bentuk eksploitasi anak dapat kita cegah sedini mungkin yaitu dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan. Peran serta dari masing-masing pihak sangat membantu dalam upaya preventif eksploitasi terhadap anak, hal ini mengingat bahwa anak merupakan penerus bangsa yang harus dilindungi hak-haknya.
Sebagai langkah konkrit terhadap peran serta pemerintah, masyarakat dan orang tua yaitu dengan tidak melakukan perlakuan eksploitasi, misalnya tidakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Dan setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata.
3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial.
4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
5. Pelibatan dalam peperangan.
Serta setiap anak memperoleh perlidungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, dan penjatuhan hukuma yang tidak manusiawi, mamperoleh kebebasan sesuai hukum. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Peran serta dari masing-masing pihak sangat diperlukan dalam memberikan kontrol terhadap tindakan penyelewengan tersebut. Sebagai contoh kasus pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas bencana. Lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orang tua. Secara psikologis anak-anak itu terganggu sesudah bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh dan Sumatra Utara pada 26 Desember 2004 silam.
Seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah dan di antara teman sebaya mereka. Tapi banyak kasus kekerasan semacam ini tidak terungkap. Atau, hal ini tidak dianggap sebagai kasus kekerasan karena kedua pihak tidak menganggapnya sebagai masalah. Seringkali kekerasan terhadap anak dianggap hal yang lumrah karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Bahkan di banyak masyarakat, norma sosial dan budaya tidak melindungi atau menghormati anak-anak.
Kasus kekerasan di Indonesia tidak mencuat karena tidak ada laporan resmi. Hal ini terjadi karena lingkungan budaya yang sudah mengakar. Masyarakat tradisional memang tidak mengakui insiden semacam itu. Buruknya penegakan hukum dan korupsi di kalangan penegak hukum juga membuat kasus-kasus kekerasan semacam itu tidak diselidiki. Akibatnya pelaku tindak kekerasan terhadap anak pun bebas dari jeratan hukum.
2.3 Pengaruh Anak Melihat Siaran Televisi
Melihat banyaknya tayangan televisi yang cenderung membentuk sikap dan prilaku anak kepada tak baik, maka KPI berkewajiban melakukan bimbingan dan pengawasan. Agama manapun juga melarang siaran yang tidak baik. Mengingat hal itu, anak-anak harus pandai memilih siaran tak baik dan sekaligus melakukan kritisi terhadap bentuk-bentuk siaran tidak mendidik itu.
KPI sudah menetapkan beberapa larangan untuk tidak ditayangkan dan disiarkan seperti yang berbau SARA, porno grafi dan pornoaksi, persoalan privasi, menghasut serta berbau fitnah. “Semua bentuk siaran itu harus mendapat kritisi bagi anak-anak.
Para anak-anak harus pandai memilih dan memilah, karena siaran televisi saat ini cenderung mengubah sikap dan prilaku kepada yang negatif. Anak-anak jangan hanya melihat tayangan sinetron di televisi dari sisi percintaan, kekerasan dan pembagian harta warisan saja, karena hal itu akan mengajarkan kita lebih banyak kepada sikap negatif.
Namun, para anak-anak harus dapat memilih dan memilah berbagai tayangan yang disajikan televisi yang mampu memotivasi menumbuhkan kemauan berbuat kepada nilai-niali positif. Walaupun diakui sangat sedikit sinetron yang ditayangkan bisa menjadi contoh untuk berbuat kebaikan. Dalam kehidupan yang glamour atau serba tak terkendali saat ini, kita lupa baik orang tua apalagi anak-anak untuk memilah dan memilih mana tontonan yang bermanfaat atau tidak. Saat ini banyak orang tua yang lalai dalam membimbing anak ketika belajar, sehingga keseriusan anak tidak terkonsentrasi untuk belajar di rumah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah merupakan masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga Negara berkewajiban untuk memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, memberikan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, karena anak dari sisi perkembangan fisik dan psikis manusia merupakan pribadi yang lemah, belum dewasa dan masih membutuhkan perlindungan
Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. www.humasbatam.co.id
2. www.google.com
3. www.bumiayubook.com
NPM : 31108034
Kelas : 2 DB 07
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Kewarganegaraan . Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas Kewarganegaraan.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa izin dan rahmatNya. Saya juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik berupa penulisan maupun dalam penyelesaiannya. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca makalah ini, guna mencapai kesempurnaan pada tugas-tugas yang akan datang. Saya juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Jakarta, 28 Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Tindakan Eksploitasi Anak
2.2. Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat dan Orang tua
2.3. Pengaruh Anak Melihat Siaran Televisi
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah merupakan masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga Negara berkewajiban untuk memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, memberikan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, karena anak dari sisi perkembangan fisik dan psikis manusia merupakan pribadi yang lemah, belum dewasa dan masih membutuhkan perlindungan
Sekjend. Komnas Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait sebagai pemateri dalam sosialisasi tersebut mengatakan bahwa posisi Anak dalam Konstitusi UUD 1945, terdapat dalam pasal 28 B ayat 2 yaitu : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Hak-hak Anak dalam berbagai Undang-Undang, antara lain UU No. 39/1999 tentang HAM maupun UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dengan jelas mengatakan bahwa Akta Kelahiran menjadi hak anak dan merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya. Dalam UU tersebut dikatakan juga bahwa anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tindakan Eksploitasi Anak
Tindakan yang dilakukan oleh orang tua, teman atau orang yang berkepentingan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan tidak dibenarkan. Dengan cara memperalat, memanfaatkan atau memeras anak tidaklah sangat manusiawi, Eksploitasi seksual terhadap anak mempunyai dampak yang sangat besar dalam kehidupan selanjutnya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mereka terjerumus dalam dunia pelacuran, antara lain rata-rata anak-anak mengaliami tekanan di dalam rumah:
1. Tekanan ekonomi, orangtua memaksa anaknya untuk menghidupi sendiri dan
memenuhi kebutuhan sekolah sendiri.
2. Tekanan psikologis, beberapa mengalami stres karena kurang kasih sayang, diacuhkan
orang tua dan merasa orang tua mereka terlalu banyak aturan yang menekan perasaan
mereka sama sekali tidak ada kebebasan.
3. Kekerasan fisik, kebanyakan dilakukan oleh bapak mereka ketika anak melakukan
pelanggaran terhadap aturan rumah.
4. Penyalahgunaan seksual, dialamai oleh salah seorang anak dampingan yang dilakukan
oleh kakak kandung sendiri.
Sedangkan tekanan dari luar yang mendukung mereka ketika mendapatkan tekanan dari rumah:
1. Pengaruh teman-teman sekolah yang mulai mengenalkannya dengan diskotik.
2. Pengaruh teman-teman kerja (pabrik, pub, billyard) yang mengenalkan pada kerja
tambahan untuk mendapatkan uang lebih dengan menemani para tamu untuk minum
atau ngedrug.
3. Hubungan sex pra nikah dengan pacar kemudian putus.
4. Dijebak baik oleh teman sendiri atau germo yang mengaku sebagai sahabat baru bagi
mereka untuk memakai salah satu jenis drug, kemudian merasa enjoy dan addic
kemudian mereka terpaksa melacur untuk bisa mendapatkan drug.
Namun ada beberapa solusi terhadap anak yang bekerja di tempat atau bersama orang dewasa, ada beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain:
1. Pelayanan pendidikan perlu dipastikan dan sifatnya harus gratis, wajib, relevan dan
menarik. Semua anak berhak atas pendidikan. Anak-anak dan orang tua harus melihat
sekolah sebagai pilihan yang lebih baik daripada bekerja.
2. Pemerintah harus memastikan agar semua anak punya akses terhadap pendidikan yang
wajib sebagai upaya pertama mengatasi masalah pekerja anak. Pemerintah harus
memiliki komitmen terhadap standar internasional, misalnya Konvensi International
Labour Organization (ILO) Convention No.182 mengenai bentuk-bentuk terburuk
pekerja anak yang telah diratifikasi 132 negara. Pemerintah harus memastikan agar ada
hukum yang bisa menjadi dasar untuk menindak pengusaha yang mengeksploitir anak.
3. Tersedianya sumber daya untuk upaya ini. Masalah pekerja anak harus menjadi agenda
penting bagi Departemen Keuangan maupun Depsos dan instansi terkait lainnya.
4. Sikap dan perilaku keluarga harus berubah. Sering kali keluarga dan masyarakat tidak
keberatan bila anak bekerja. Bahkan seringkali bekerja dianggap lebih tepat bagi anak
perempuan dari pada bersekolah. Sikap seperti ini harus diubah karena tidak akan
memberikan perlindungan bagi anak.
5. Hukum dan peraturan yang melarang pekerja anak harus diterapkan. Yang lebih
penting tentu saja penegakannya secara konsisten.
6. Pemerintah dan pihak lain harus mengetahui berapa banyak anak bekerja dalam
berbagai bidang. Pemerintah juga harus mengetahui gender, usia dan etnis anak untuk
memahami mengapa mereka menjadi rentan pada awalnya dan untuk menentukan t
tindakan yang tepat.
7. Anak-anak harus segera diangkat dari jenis pekerjaan terburuk bagi pekerja anak dan
diberi perawatan dan pendidikan. Pendapat anak perlu diperhitungkan dalam program-
program yang bertujuan untuk membantu pekerja anak. Jika anak-anak akan diberi
alternatif agar tidak lagi terlibat dalam pekerjaan berbahaya, maka mereka harus
menjadi mitra dalam menentukan jenis alternatif tersebut.
2.2 Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat dan Orang tua
Perlindungan anak terhadap segala bentuk eksploitasi anak dapat kita cegah sedini mungkin yaitu dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan. Peran serta dari masing-masing pihak sangat membantu dalam upaya preventif eksploitasi terhadap anak, hal ini mengingat bahwa anak merupakan penerus bangsa yang harus dilindungi hak-haknya.
Sebagai langkah konkrit terhadap peran serta pemerintah, masyarakat dan orang tua yaitu dengan tidak melakukan perlakuan eksploitasi, misalnya tidakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Dan setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata.
3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial.
4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
5. Pelibatan dalam peperangan.
Serta setiap anak memperoleh perlidungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, dan penjatuhan hukuma yang tidak manusiawi, mamperoleh kebebasan sesuai hukum. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Peran serta dari masing-masing pihak sangat diperlukan dalam memberikan kontrol terhadap tindakan penyelewengan tersebut. Sebagai contoh kasus pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas bencana. Lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orang tua. Secara psikologis anak-anak itu terganggu sesudah bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh dan Sumatra Utara pada 26 Desember 2004 silam.
Seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah dan di antara teman sebaya mereka. Tapi banyak kasus kekerasan semacam ini tidak terungkap. Atau, hal ini tidak dianggap sebagai kasus kekerasan karena kedua pihak tidak menganggapnya sebagai masalah. Seringkali kekerasan terhadap anak dianggap hal yang lumrah karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Bahkan di banyak masyarakat, norma sosial dan budaya tidak melindungi atau menghormati anak-anak.
Kasus kekerasan di Indonesia tidak mencuat karena tidak ada laporan resmi. Hal ini terjadi karena lingkungan budaya yang sudah mengakar. Masyarakat tradisional memang tidak mengakui insiden semacam itu. Buruknya penegakan hukum dan korupsi di kalangan penegak hukum juga membuat kasus-kasus kekerasan semacam itu tidak diselidiki. Akibatnya pelaku tindak kekerasan terhadap anak pun bebas dari jeratan hukum.
2.3 Pengaruh Anak Melihat Siaran Televisi
Melihat banyaknya tayangan televisi yang cenderung membentuk sikap dan prilaku anak kepada tak baik, maka KPI berkewajiban melakukan bimbingan dan pengawasan. Agama manapun juga melarang siaran yang tidak baik. Mengingat hal itu, anak-anak harus pandai memilih siaran tak baik dan sekaligus melakukan kritisi terhadap bentuk-bentuk siaran tidak mendidik itu.
KPI sudah menetapkan beberapa larangan untuk tidak ditayangkan dan disiarkan seperti yang berbau SARA, porno grafi dan pornoaksi, persoalan privasi, menghasut serta berbau fitnah. “Semua bentuk siaran itu harus mendapat kritisi bagi anak-anak.
Para anak-anak harus pandai memilih dan memilah, karena siaran televisi saat ini cenderung mengubah sikap dan prilaku kepada yang negatif. Anak-anak jangan hanya melihat tayangan sinetron di televisi dari sisi percintaan, kekerasan dan pembagian harta warisan saja, karena hal itu akan mengajarkan kita lebih banyak kepada sikap negatif.
Namun, para anak-anak harus dapat memilih dan memilah berbagai tayangan yang disajikan televisi yang mampu memotivasi menumbuhkan kemauan berbuat kepada nilai-niali positif. Walaupun diakui sangat sedikit sinetron yang ditayangkan bisa menjadi contoh untuk berbuat kebaikan. Dalam kehidupan yang glamour atau serba tak terkendali saat ini, kita lupa baik orang tua apalagi anak-anak untuk memilah dan memilih mana tontonan yang bermanfaat atau tidak. Saat ini banyak orang tua yang lalai dalam membimbing anak ketika belajar, sehingga keseriusan anak tidak terkonsentrasi untuk belajar di rumah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah merupakan masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga Negara berkewajiban untuk memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, memberikan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, karena anak dari sisi perkembangan fisik dan psikis manusia merupakan pribadi yang lemah, belum dewasa dan masih membutuhkan perlindungan
Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. www.humasbatam.co.id
2. www.google.com
3. www.bumiayubook.com
Pasal 28 B ayat 1 Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah
Nama : Irfan Novi Trihandoko
NPM : 31108034
Kelas : 2 DB 07
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Kewarganegaraan . Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas Kewarganegaraan.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa izin dan rahmatNya. Saya juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik berupa penulisan maupun dalam penyelesaiannya. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca makalah ini, guna mencapai kesempurnaan pada tugas-tugas yang akan datang. Saya juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Jakarta, 28 Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Syarat-syarat Perkawinan
2.2 Pernikahan siri
2.3 Status Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Nasional..
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan.
Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh negara. Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita.
Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran, perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.
Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama.
Biasanya, untuk mencegah terjadinya perkawinan beda-agama yang masih belum diterima dengan baik oleh masyarakat, biasanya salah satu pihak dari pasangan tersebut berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak sehingga perkawinannya pun disahkan berdasarkan agama yang dipilih tersebut. Walaupun demikian, di tengah-tengah masyarakat, pro-kontra pendapat terjadi sehubungan dengan perkawinan beda-agama ini. Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri sehingga negara tidak perlu melakukan pengaturan yang memasukkan unsur-unsur agama. Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda-agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima.
Di sisi lain, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadi perubahan yang signikan, terutama dalam hal penegakan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek-aspek dalam HAM terus menjadi sorotan masyarakat dunia karena semakin timbiul kesadaran bahwa muatannya merupakan bagian inheren dari kehidupan dan jati diri manusia. Makalah ini memaparkan sejauh mana perkawinan beda-agama mendapat tempat dalam peraturan perundangan-undangan, dan kaitannya dengan aspek Hak Asasi Manusia (HAM).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Syarat-syarat Perkawinan
Pernikahan dipandang sah menurut agama dan negara (Undang-Undang Pasal 28B) bila dipenuhi syarat dan rukunnya, yaitu :
1. Adanya calon suami dan calon istri
2. Adanya wali
3. Adanya dua saksi yang adil
4. Ijab dan qobul
5. Tercatat dalam Kantor Urusan Agama.
Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin
kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila
keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
3. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah
seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan
atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan.
4. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-
masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.
2.2 Pernikahan siri
Perlu diketahui, pengertian nikah siri yang beredar di masyarakat itu ada dua macam yaitu :
1. Pernikahan yang dilakukan tanpa wali
2. Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhi syarat syarat lainnya
tetapi tidak dicatat di KUA setempat.
Dizaman modern seperti saat ini di Indonesia, hak, kewajiban dan tanggungjawab suami-isteri hanya bisa dijamin dgn bermacam Undang-Undang yg tersedia. Jadi menurut saya, dua orang yg melakukan kawin siri berarti tidak melengkapi tanggung jawabnya ke masyarakat seperti yg di amanatkan dan dibudayakan ajaran Islam. Misalnya, tidak ada yg bisa memaksa seorang suami yg kawin siri utk menafkahi isteri dan anak-anak dari perkawinan siri tsb. Isterinya tdk akan mendapat pensiun janda, jika suaminya meninggal dunia. Jika ternyata sang suami punya isteri atau anak-anak dari perkawinan yg disahkan menurut UU, isteri dan anak-anaknya dari isteri dgn perkawinan sah tsb bisa menolak membagi warisan dari sang suami ke keluarga yg kawin siri.
Banyak dimasyarakat yang melakukan kawin siri, kadang-kadang dgn disaksikan beberapa teman2 saja, tanpa diketahui keluarga, malahan yg menjadi penghulu salah satu teman ybs, selanjutnya yg bersangkutan juga diam2 saja dan malahan berusaha menutupi bahwa mereka sudah kawin (siri). Menurut yg melakukan kawin siri tsb salah satu alasannya, agar hubungan seks meraka sah secara Islam, jadi mereka tdk berzina. Padahal menurut saya, dalam Islam perkawinan tdk hanya mensahkan hubungan seks saja, tetapi lebih dari, yaitu hak, kewajiban dan tanggungjawab sebagai anggota keluarga.
Seorang laki-laki yg melakukan kawin siri menurut saya adalah laki-laki yg tidak bertanggung jawab, dan perempuan yg mau dikawin siri adalah perempuan yg pada posisi terpaksa melakukan perkawinan, atau keduanya tdk sadar akan implikasinya. Kecuali kalau ada alasan2 lain yg benar2 bisa diterima.
2.3. Status Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Nasional
UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak.
Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan ada 4 cara yang populer ditempuh oleh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
1. Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama
4. Perkawinan dilakukan di luar negeri.
Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwaa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama. Artinya, tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkawinan merupakan hak asasi yang paling mendasar yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, termasuk oleh negara. Sebaliknya, negara berkewajiban untuk menjamin pelaksaaan hak ini dengan cara mengadopsi HAM yang sudah diakui ke dalam hukum nasional secara menyeluruh karena HAM merupakah hak paling dasar yang menjadi landasan bagi semua produk hukum yang berkenaan dengan warga negara.
Penolakan atas perkawinan beda-agama merupakan tindakan yang diskriminatif berdasarkan agama. Negara perlu segera melakukan harmonisasi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak dasar sebagai wujud konkrit dari pengakuan atas HAM dan untuk menjaga kepastian hukum sehingga tidak ada lagi warga negara yang melakukan perkawinan dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan perundang-undangan. Pengakuan terhadap perkawinan beda-agama juga dapat meminimalisir ekses-ekses negatif yang mungkin timbul dalam masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat menjiwai hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya melekat dalam setiap manusia.
DAFTAR PUSTAKA
1. www.waspada.co.id
2. www.iman-nugraha.net
3. www.google.com
4. www.wikipedia.com
NPM : 31108034
Kelas : 2 DB 07
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Kewarganegaraan . Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas Kewarganegaraan.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa izin dan rahmatNya. Saya juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik berupa penulisan maupun dalam penyelesaiannya. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca makalah ini, guna mencapai kesempurnaan pada tugas-tugas yang akan datang. Saya juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Jakarta, 28 Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Syarat-syarat Perkawinan
2.2 Pernikahan siri
2.3 Status Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Nasional..
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan.
Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh negara. Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita.
Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran, perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.
Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama.
Biasanya, untuk mencegah terjadinya perkawinan beda-agama yang masih belum diterima dengan baik oleh masyarakat, biasanya salah satu pihak dari pasangan tersebut berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak sehingga perkawinannya pun disahkan berdasarkan agama yang dipilih tersebut. Walaupun demikian, di tengah-tengah masyarakat, pro-kontra pendapat terjadi sehubungan dengan perkawinan beda-agama ini. Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri sehingga negara tidak perlu melakukan pengaturan yang memasukkan unsur-unsur agama. Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda-agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima.
Di sisi lain, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadi perubahan yang signikan, terutama dalam hal penegakan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek-aspek dalam HAM terus menjadi sorotan masyarakat dunia karena semakin timbiul kesadaran bahwa muatannya merupakan bagian inheren dari kehidupan dan jati diri manusia. Makalah ini memaparkan sejauh mana perkawinan beda-agama mendapat tempat dalam peraturan perundangan-undangan, dan kaitannya dengan aspek Hak Asasi Manusia (HAM).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Syarat-syarat Perkawinan
Pernikahan dipandang sah menurut agama dan negara (Undang-Undang Pasal 28B) bila dipenuhi syarat dan rukunnya, yaitu :
1. Adanya calon suami dan calon istri
2. Adanya wali
3. Adanya dua saksi yang adil
4. Ijab dan qobul
5. Tercatat dalam Kantor Urusan Agama.
Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin
kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila
keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
3. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah
seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan
atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan.
4. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-
masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.
2.2 Pernikahan siri
Perlu diketahui, pengertian nikah siri yang beredar di masyarakat itu ada dua macam yaitu :
1. Pernikahan yang dilakukan tanpa wali
2. Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhi syarat syarat lainnya
tetapi tidak dicatat di KUA setempat.
Dizaman modern seperti saat ini di Indonesia, hak, kewajiban dan tanggungjawab suami-isteri hanya bisa dijamin dgn bermacam Undang-Undang yg tersedia. Jadi menurut saya, dua orang yg melakukan kawin siri berarti tidak melengkapi tanggung jawabnya ke masyarakat seperti yg di amanatkan dan dibudayakan ajaran Islam. Misalnya, tidak ada yg bisa memaksa seorang suami yg kawin siri utk menafkahi isteri dan anak-anak dari perkawinan siri tsb. Isterinya tdk akan mendapat pensiun janda, jika suaminya meninggal dunia. Jika ternyata sang suami punya isteri atau anak-anak dari perkawinan yg disahkan menurut UU, isteri dan anak-anaknya dari isteri dgn perkawinan sah tsb bisa menolak membagi warisan dari sang suami ke keluarga yg kawin siri.
Banyak dimasyarakat yang melakukan kawin siri, kadang-kadang dgn disaksikan beberapa teman2 saja, tanpa diketahui keluarga, malahan yg menjadi penghulu salah satu teman ybs, selanjutnya yg bersangkutan juga diam2 saja dan malahan berusaha menutupi bahwa mereka sudah kawin (siri). Menurut yg melakukan kawin siri tsb salah satu alasannya, agar hubungan seks meraka sah secara Islam, jadi mereka tdk berzina. Padahal menurut saya, dalam Islam perkawinan tdk hanya mensahkan hubungan seks saja, tetapi lebih dari, yaitu hak, kewajiban dan tanggungjawab sebagai anggota keluarga.
Seorang laki-laki yg melakukan kawin siri menurut saya adalah laki-laki yg tidak bertanggung jawab, dan perempuan yg mau dikawin siri adalah perempuan yg pada posisi terpaksa melakukan perkawinan, atau keduanya tdk sadar akan implikasinya. Kecuali kalau ada alasan2 lain yg benar2 bisa diterima.
2.3. Status Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Nasional
UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak.
Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan ada 4 cara yang populer ditempuh oleh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
1. Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama
4. Perkawinan dilakukan di luar negeri.
Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwaa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama. Artinya, tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkawinan merupakan hak asasi yang paling mendasar yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, termasuk oleh negara. Sebaliknya, negara berkewajiban untuk menjamin pelaksaaan hak ini dengan cara mengadopsi HAM yang sudah diakui ke dalam hukum nasional secara menyeluruh karena HAM merupakah hak paling dasar yang menjadi landasan bagi semua produk hukum yang berkenaan dengan warga negara.
Penolakan atas perkawinan beda-agama merupakan tindakan yang diskriminatif berdasarkan agama. Negara perlu segera melakukan harmonisasi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak dasar sebagai wujud konkrit dari pengakuan atas HAM dan untuk menjaga kepastian hukum sehingga tidak ada lagi warga negara yang melakukan perkawinan dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan perundang-undangan. Pengakuan terhadap perkawinan beda-agama juga dapat meminimalisir ekses-ekses negatif yang mungkin timbul dalam masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat menjiwai hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya melekat dalam setiap manusia.
DAFTAR PUSTAKA
1. www.waspada.co.id
2. www.iman-nugraha.net
3. www.google.com
4. www.wikipedia.com
Langganan:
Postingan (Atom)