Senin, 01 Maret 2010

Pasal 28 B ayat 1 Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah

Nama : Irfan Novi Trihandoko
NPM : 31108034
Kelas : 2 DB 07



KATA PENGANTAR


Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Kewarganegaraan . Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas Kewarganegaraan.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa izin dan rahmatNya. Saya juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan, baik berupa penulisan maupun dalam penyelesaiannya. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca makalah ini, guna mencapai kesempurnaan pada tugas-tugas yang akan datang. Saya juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.






Jakarta, 28 Februari 2010



Penulis














DAFTAR ISI


Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Syarat-syarat Perkawinan
2.2 Pernikahan siri
2.3 Status Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Nasional..

BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan.
Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh negara. Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita.
Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran, perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.
Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama.
Biasanya, untuk mencegah terjadinya perkawinan beda-agama yang masih belum diterima dengan baik oleh masyarakat, biasanya salah satu pihak dari pasangan tersebut berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak sehingga perkawinannya pun disahkan berdasarkan agama yang dipilih tersebut. Walaupun demikian, di tengah-tengah masyarakat, pro-kontra pendapat terjadi sehubungan dengan perkawinan beda-agama ini. Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri sehingga negara tidak perlu melakukan pengaturan yang memasukkan unsur-unsur agama. Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda-agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima.
Di sisi lain, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadi perubahan yang signikan, terutama dalam hal penegakan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek-aspek dalam HAM terus menjadi sorotan masyarakat dunia karena semakin timbiul kesadaran bahwa muatannya merupakan bagian inheren dari kehidupan dan jati diri manusia. Makalah ini memaparkan sejauh mana perkawinan beda-agama mendapat tempat dalam peraturan perundangan-undangan, dan kaitannya dengan aspek Hak Asasi Manusia (HAM).















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Syarat-syarat Perkawinan
Pernikahan dipandang sah menurut agama dan negara (Undang-Undang Pasal 28B) bila dipenuhi syarat dan rukunnya, yaitu :
1. Adanya calon suami dan calon istri
2. Adanya wali
3. Adanya dua saksi yang adil
4. Ijab dan qobul
5. Tercatat dalam Kantor Urusan Agama.

Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin
kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila
keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
3. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah
seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan
atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan.
4. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-
masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.




2.2 Pernikahan siri
Perlu diketahui, pengertian nikah siri yang beredar di masyarakat itu ada dua macam yaitu :
1. Pernikahan yang dilakukan tanpa wali
2. Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhi syarat syarat lainnya
tetapi tidak dicatat di KUA setempat.
Dizaman modern seperti saat ini di Indonesia, hak, kewajiban dan tanggungjawab suami-isteri hanya bisa dijamin dgn bermacam Undang-Undang yg tersedia. Jadi menurut saya, dua orang yg melakukan kawin siri berarti tidak melengkapi tanggung jawabnya ke masyarakat seperti yg di amanatkan dan dibudayakan ajaran Islam. Misalnya, tidak ada yg bisa memaksa seorang suami yg kawin siri utk menafkahi isteri dan anak-anak dari perkawinan siri tsb. Isterinya tdk akan mendapat pensiun janda, jika suaminya meninggal dunia. Jika ternyata sang suami punya isteri atau anak-anak dari perkawinan yg disahkan menurut UU, isteri dan anak-anaknya dari isteri dgn perkawinan sah tsb bisa menolak membagi warisan dari sang suami ke keluarga yg kawin siri.
Banyak dimasyarakat yang melakukan kawin siri, kadang-kadang dgn disaksikan beberapa teman2 saja, tanpa diketahui keluarga, malahan yg menjadi penghulu salah satu teman ybs, selanjutnya yg bersangkutan juga diam2 saja dan malahan berusaha menutupi bahwa mereka sudah kawin (siri). Menurut yg melakukan kawin siri tsb salah satu alasannya, agar hubungan seks meraka sah secara Islam, jadi mereka tdk berzina. Padahal menurut saya, dalam Islam perkawinan tdk hanya mensahkan hubungan seks saja, tetapi lebih dari, yaitu hak, kewajiban dan tanggungjawab sebagai anggota keluarga.
Seorang laki-laki yg melakukan kawin siri menurut saya adalah laki-laki yg tidak bertanggung jawab, dan perempuan yg mau dikawin siri adalah perempuan yg pada posisi terpaksa melakukan perkawinan, atau keduanya tdk sadar akan implikasinya. Kecuali kalau ada alasan2 lain yg benar2 bisa diterima.

2.3. Status Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Nasional
UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak.
Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan ada 4 cara yang populer ditempuh oleh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
1. Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama
4. Perkawinan dilakukan di luar negeri.

Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwaa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama. Artinya, tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.






BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perkawinan merupakan hak asasi yang paling mendasar yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, termasuk oleh negara. Sebaliknya, negara berkewajiban untuk menjamin pelaksaaan hak ini dengan cara mengadopsi HAM yang sudah diakui ke dalam hukum nasional secara menyeluruh karena HAM merupakah hak paling dasar yang menjadi landasan bagi semua produk hukum yang berkenaan dengan warga negara.
Penolakan atas perkawinan beda-agama merupakan tindakan yang diskriminatif berdasarkan agama. Negara perlu segera melakukan harmonisasi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak dasar sebagai wujud konkrit dari pengakuan atas HAM dan untuk menjaga kepastian hukum sehingga tidak ada lagi warga negara yang melakukan perkawinan dengan memanfaatkan celah-celah dalam peraturan perundang-undangan. Pengakuan terhadap perkawinan beda-agama juga dapat meminimalisir ekses-ekses negatif yang mungkin timbul dalam masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat menjiwai hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya melekat dalam setiap manusia.








DAFTAR PUSTAKA



1. www.waspada.co.id
2. www.iman-nugraha.net
3. www.google.com
4. www.wikipedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar